Pendatang Wajib Ber-KTP Morowali, Kesempatan Kerja Warga Lokal Menipis

SEJUMLAH pendatang dari luar Kabupaten Morowali sedang antrian mengurus Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. FOTO: AGUS PANCA SAPUTRA

SultengTerkini.Com, MOROWALI– Kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Morowali di Sulawesi Tengah yang mengharuskan para pencari kerja dari luar daerah untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Morowali diprotes sejumlah kepala pemerintahan desa (kades) di wilayahnya.

Akibat dari kebijakan itu membuat kesempatan kerja bagi masyarakat lokal setempat menipis.

Alasannya, pihak perusahaan tidak mengetahui lagi, mana pendatang yang baru tinggal di Morowali dan penduduk lokal.

“KTP Morowali orang asli dengan pendatang itu sama, tidak ada bedanya. Semua pendatang sekarang menjadi orang lokal. Akhirnya, yang lebih banyak bekerja di perusahaan adalah pendatang, bukan orang asli disini,” kesal Kepala Desa Bahodopi Kecamatan Bahodopi, Abdul Majid saat ditemui SultengTerkini.Com di kediamannya, belum lama ini.

Abdul Majid menuturkan, para pencari kerja tersebut tidak selayaknya diwajibkan memiliki KTP Morowali.

“Mereka ini kan hanya pencari kerja. Ketika sudah diterima bekerja pun, mereka lebih dulu menjadi karyawan kontrak. Setelah kontrak mereka habis, jelas mereka akan pindah dari desa ini. Jadi, KTP itu tidak wajib bagi mereka. Ini jelas saya tolak,” ujarnya.

Menurut kepala desa Bahodopi tiga periode ini, ketika para pendatang tersebut melamar kerja dengan KTP daerah asalnya, maka kesempatan bekerja bagi masyarakat lokal menjadi terbuka lebar, karena masyarakat lokal yang diprioritaskan untuk diterima bekerja di perusahaan.

“Saya tidak tahu siapa yang wajibkan para pendatang ini memiliki KTP Morowali, karena tidak pernah ada sosialisasi atau pemberitahuannya kepada kami. Namun menurut pengakuan para pendatang yang mengurus KTP-nya, mereka harus punya KTP Morowali agar cepat dipanggil bekerja,” urai Abdul Majid.

Belum lagi, kata Abdul Majid, para pendatang ini tidak melapor ke aparat desa.

“Sekarang ini, saya tidak mau mengurus mereka untuk bikin KTP Morowali yang hanya berdasarkan surat pindah dari daerah asal. Kalau surat domisili boleh. Kenapa?, karena yang boleh punya KTP Morowali itu adalah orang yang sudah punya tanah atau pondok-pondok disini. Sekarang mereka cuma tinggal di kos, untuk apa punya KTP sini. Belum lagi, kalau mereka dapat kos yang murah dan fasilitasnya sama, jelas mereka pindah lagi. Apalagi kebanyakan pencari kerja ini masih bujangan,” geramnya.

Meski mengambil kebijakan yang agak melenceng dari ketentuan yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten Morowali, pihaknya belum pernah dipanggil pemerintah kabupaten.

“Belum pernah saya dipanggil untuk mengklarifikasi kebijakan yang saya ambil di desa ini. Padahal, saya ingin dipertemukan, sehingga saya bisa mengutarakan alasan kebijakan saya dan pemerintah daerah bisa mengutarakan alasan mereka untuk mewajibkan pencari kerja ber-KTP Morowali ini. Sehingga kalau sudah ketemu, kita bisa cari solusinya bersama,” urainya.

Hal senada juga ditegaskan Sekretaris Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi, Salim Abdullah.

Dia mengatakan, keluarga kandung Kepala Desa Fatufia sejauh ini belum juga mendapat panggilan bekerja dari perusahaan. Padahal, kepala desa adalah masyarakat lokal Morowali.

“Masih banyak orang lokal disini yang belum dipanggil bekerja pak. Kesempatan mereka bekerja sudah tersaingi oleh banyaknya pendatang yang juga ber-KTP Morowali,” tutur Salim. CAL

Komentar