PT Mamuang Diduga Kriminalisasi dan Bertindak Represif kepada Warga Rio Pakava

KONFERENSI pers oleh sejumlah warga Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah terkait dugaan kriminalisasi dan tindakan represif pihak PT Mamuang kepada warga setempat, di Sekretariat AJI Palu didampingi Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng dari Fraksi NasDem, Muhammad Masykur, Selasa (19/9/2017) malam. FOTO: ICHAL

SultengTerkini.Com, PALU– Pihak PT Mamuang (Group Astra) diduga melakukan kriminalisasi dan bertindak represif kepada warga Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) karena telah merampas paksa kendaraan milik warga dengan memanfaatkan sejumlah oknum polisi dari Polres Mamuju Utara, Sulawesi Barat.

Hal ini terungkap dalam konferensi pers oleh sejumlah warga Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Donggala, di Sekretariat AJI Palu didampingi Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng dari Fraksi NasDem, Muhammad Masykur, Selasa (19/9/2017) tadi malam.

Jufri, salah seorang warga Polanto Jaya menerangkan, sudah sebulan terakhir PT Mamuang dengan menggunakan oknum aparat polisi mengambil paksa kendaraan warga, yang sehari-hari digunakan warga untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan cara-cara yang tidak simpatik.

“Malam-malam oknum polisi itu sambil teriak keluar (dari dalam rumah) kemudian mengambil mobil kami,” kata Jufri yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Mamuju Utara dengan tuduhan melakukan pencurian saat hendak memanen kakao di kebunnya yang telah dikuasai oleh perusahaan.

Jufri menambahkan, bahwa berdasarkan izin HGU yang dikantongi PT Mamuang yang merupakan anak perusahaan Astra Group, sebenarnya wilayah operasi perusahaan ini berada di Desa Martajaya, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat.

Namun, dilapangan operasi perusahaan ini justru masuk di wilayah Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

Dari sinilah rentetan peristiwa kriminalisasi terhadap masyarakat terjadi.

Pasalnya, jarak antara obyek HGU dan obyek sengketa kurang lebih sejauh 30 kilometer, dan ketika masyarakat hendak memanen kakao seluas kurang labih 43 hektare yang diantaranya telah ditanami pohon kelapa sawit, dianggap perusahaan telah melakukan pencurian.

Pencaplokan kebun-kebun warga juga beberapa kali telah menimbulkan peristiwa berdarah.

Bahkan akibat trauma atas upaya mempertanahankan kebun miliknya, yang disambut dengan tembakan aparat Brimob yang disewa perusahaan telah menyebabkan sepasang suami-istri meninggal dunia.

“Ada teman, kalau lihat ada mobil lewat di depan rumahnya saja langsung lari meninggalkan rumahnya,” imbuh Jufri.

Jufri juga mengatakan, perjuangan warga sudah sekitar 17 tahun, dengan mendatangi sejumlah lembaga mulai Ombudsman RI Pusat, Kompolnas, Komnas HAM hingga Kemendagri, namun hingga saat ini tidak membuahkan hasil.

Di tempat terpisah, Ketua Adat Kaili yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah, Bahri Datupamusu mengatakan, bahwa transmigrasi di Rio Pakava masuk sekitar tahun 1991.

Sebelumnya, sebagai dewa adat dia menurunkan masyarakat suku Kaili yang masih hidup di pegunungan untuk dibawa ke kawasan dataran Lalundu.

Kemudian, setelah dilakukan pendataan pihaknya mengajukan ke pemerintah untuk diadakan transmigrasi dengan komposisi penduduk lokal 20 persen dan 80 persen pendatang.

“Jadi saya tahu persis sejarah daerah itu, termasuk batas-batas yang ditetapkan oleh pemerintah,” kata Bahri.

Bahri juga menjelaskan, jika sebenarnya PT Mamuang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga telah merugikan Pemerintah Kabupaten Donggala dan Pemerintah Provinsi Sulteng, sebab selain telah menyerobot tanah warga, PT Mamuang juga telah menyerobot wilayah administratif Kabupaten Donggala, sehingga secara ekonomi Donggala, Sulteng juga telah dirugikan dari sektor pajak dan retribusi.

“Masyarakat kehilangan mata pencaharian, tertekan secara psikis dan pemerintah dirugikan dari sektor pendapatan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Bahri, dari sisi kearifan sosial budaya masyarakat, akibat kesewenang-wenangan PT Mamuang tersebut tanah ulayat milik etnis Kaili juga telah dikuasai oleh perusahaan.

Sementara itu, anggota Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Muhammad Masykur mengaku mengecam keras terhadap tindakan PT Mamuang yang telah mencaplok lahan warga dan melakukan kriminalisasi kepada petani di Rio Pakava.

“PT Mamuang jangan berperilaku kasar terhadap masyarakat seperti itu. Jangan karena memiliki uang lantas bertindak seenaknya terhadap masyarakat,” kesal Masykur.

Sementara itu, pihak PT Mamuang hingga berita ini diturunkan belum memberikan keterangan resmi terkait masalah tersebut. */CAL

Komentar