FPKR: Cabut Izin PT KLS dan PT BHP!

WhatsApp Image 2018-09-12 at 15.38.45
MASSA dari Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat saat berunjukrasa di kantor Badan Pemantapan Kawasan Hutan Sulawesi Tengah di Kota Palu, Rabu (12/9/2018). FOTO: IST

SultengTerkini.Com, LUWUK– Puluhan massa yang mengatasnamakan Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR) berunjukrasa ke sejumlah kantor seperti Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Badan Pertanahan Nasional, Dinas Kehutanan Sulteng dan polda setempat, Rabu (12/9/2018).

Dalam orasinya, massa FPKR yang dipimpin Zaenuddin itu menyampaikan bahwa, 10 tahun sudah perjuangan Serikat Petani Piondo Kabupaten Banggai merebut kembali tanah yang terampas dari tangan kuasa modal serakah PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan PT Berkah Hutan Pusaka (BHP).

Pihaknya pasti mempertahankannya dengan taruhan nyawa sekalipun. Negara mestinya menghargai perjuangan kami.

Menurutnya, benar bahwa negara telah merespon tuntutannya untuk melakukan investigasi pelanggaran hukum perusahaan tersebut.

Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengakui pelanggaran perusahaan tersebut mengalihfungsi Hutan Tanaman Industri menjadi perkebunan sawit di hadapan KSP, Dinas Kehutanan, dan BPKH (Badan Pemantapan Kawasan Hutan di Jakarta pada pertengahan tahun 2018.

“Apa yang terjadi kemudian? Lagi- lagi rakyat dikhianati. Tidak ada sanksi terhadap perusahaan. Kawasan tersebut telah dilepas menjadi Areal Penggunaan Lain melalui permintaan Bupati Banggai (yang juga adalah pimpinan PT BHP) dan direspon segera oleh BPKH Wilayah Sulawesi Tengah,” kata Eksekutif Kampanye dan Advokasi Jatam Sulawesi Tengah, Moh Taufik kepada SultengTerkini.Com, Rabu malam.

Menurut Taufik, hal ini sungguh keterlaluan. Padahal tanah perjuangan itu telah diusul sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan telah memenuhi syarat legal sejak 23 Oktober 2016 di Jakarta.

Pihaknya menduga terjadi “perselingkuhan” antara Bupati Banggai, BPKH ( Badan Pemantapan Kawasan Hutan ) Sulawesi Tengah dan PT BHP, serta mungkin juga pihak lain.

“Bagi kami pihak-pihak tersebut telah merusak   martabat dan wibawa negara. Kami juga telah melaporkan kasus ini di berbagai instansi terkait, bahkan menyurat kepada Presiden Republik Indonesia. Entahlah surat ini sampai atau tidak yang pasti kasus ini terkesan dibiarkan. Oleh karena itu kami ingin menyampaikan kepada publik telah terjadi praktik-praktik perampasan tanah rakyat,  yang dilakukan oknum-oknum pejabat negara bekerja sama dengan para kuasa modal untuk merebut memiskinkan rakyat dan memperkaya segelintir orang,” katanya.

Oleh karena itu, melalui aksi itu mereka menuntut agar hutan yang ditanami sawit dihutankan kembali untuk dikelola oleh rakyat dan meminta segerakan penetapan TORA untuk SPP dan SPBJ.

Selain itu massa FPKR juga meminta kepada pemerintah untuk mencabut izin PT BHP dan PT KLS, serta memberi sanksi keras terhadap pejabat negara yang ‘berselingkuh’ dalam kasus-kasus pertanahan.

Usai berorasi di sejumlah kantor itu, massa FPKR yang terdiri dari Himasos, Mapatala, IPMAS, IMPTR, IP2MMU, SCA, Salubai, Pitudaya, Jatam Sulteng, Serikat Petani Piondo, dan KPA Sulteng itu kemudian membubarkan diri dengan tertib. HAL

Komentar