AIR laut berwarna biru terhampar di sejauh mata memandang. Langit begitu cerah. Awan-awan laksana gumpalan kapas berbaris, ‘melukis’ langit Donggala dengan indahnya.
Di seberang teluk, pemandangan perbukitan nan hijau makin membuat syahdu suasana Pelabuhan Perikanan Wilayah I Donggala, yang terletak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, siang itu, Senin, 8 Oktober 2018.
Membayangkan gempa dan tsunami yang menerjang pelabuhan itu pada pengujung September 2018, rasa getir langsung menyeruak di dada.
Bagaimana tidak. Sekitar 30 persen bangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) satu-satunya di Donggala tersebut hancur. Harapan para nelayan yang menggantungkan hidup di pelabuhan itu pupus seketika.
Kini, atau tiga minggu pascabencana dahsyat yang melanda Donggala dan Palu, pelabuhan di Jalan Tongkol, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Banawa, itu belum benar-benar bergeliat. Begitu juga Pelabuhan Donggala, yang terletak tidak jauh dari pelabuhan itu.
“Pelabuhan Perikanan (PPI) kerusakannya 30 persen. Pelabuhan Donggala mengalami kerusakan hampir 50 persen. Sekitar 50 meter persegi luas pelabuhan hilang. Semua miring dan hancur,” ujar salah satu staf PPI Donggala, Rudi Kacololi, kepada detikcom, Rabu, 17 Oktober.
Sedangkan nelayan, menurut Rudi, sebagian besar masih mengurus rumah-rumah mereka yang hancur karena gempa dan tsunami. Namun sebagian kecil sudah mulai memperbaiki perahu-perahu mereka karena tuntutan kebutuhan sehari-hari yang makin berat di tengah bencana. Perbaikan itu dilakukan dengan biaya sendiri karena belum ada bantuan dari pemerintah.
10 perahu sudah rampung diperbaiki dan dipakai untuk kembali melaut. Namun, mereka tak berani mencari ikan di sekitar perairan Donggala. Selain trauma terhadap gempa-tsunami, muncul desas-desus bahwa ikan-ikan di situ makan mayat korban gempa dan tsunami yang terseret ke tengah laut.
Akibatnya, nelayan yang berjumlah sekitar 20 orang itu berlayar ratusan kilometer hingga perairan Balikpapan, Kalimantan Timur. “Nelayan menangkap ikan ke Kalimantan, akan terus dilakukan sampai 1-2 bulan ke depan. Mungkin tahun 2019 sudah bisa aktivitas normal,” tutur Rudi.
Rudi, yang juga punya usaha kapal penangkap ikan, menceritakan kembali ngerinya gempa Magnitudo 7,4 Donggala yang disusul gelombang tsunami pada Jumat itu. Pelabuhan sedang ramai petang itu. Para nelayan sibuk membongkar muatan ikan. Ia pun ikut mengawasi bongkar-muat itu di dermaga pelabuhan.
Suara azan Magrib sayup-sayup terdengar. Tiba-tiba, seluruh pelabuhan dikejutkan oleh entakan keras dari dalam tanah. Tiga kali berturut-turut. Beberapa menit kemudian, air laut surut. Namun air kembali naik dan berubah menjadi gelombang besar yang menerjang daratan. Apa saja yang ada di pelabuhan diempaskan tsunami.
“Orang-orang berteriak. Semuanya lari ke gunung karena akan terjadi tsunami. Kebetulan Labuan Bajo ini dekat dengan gunung. Saya langsung ambil kontak motor dan lari ke atas gunung. Kita lihat tsunami itu luar biasa dahsyatnya,” katanya.
Rumah-rumah penduduk yang ada di tepi pantai dekat pelabuhan tenggelam oleh tsunami. Hanya kampung yang persis di belakang Pelabuhan Donggala yang tak dijangkau air laut karena tsunami tertahan pelabuhan.
“Alhamdulillah keluarga saya utuh. Teman-teman kantor 30 orang selamat, kecuali ada satu istri teman yang tak selamat,” katanya.
(sumber: detik.com)
Komentar