SultengTerkini.Com, PALU– Hampir empat pekan berlalu pascagempa, tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Sigi juga Donggala, kondisi Sulawesi Tengah (Sulteng) masih dalam duka.
Sampai saat ini, sebagian besar warga yang selamat dari musibah besar pada Jumat (28/9/2018) lalu, mengungsi di bawah tenda-tenda pengungsian.
Terpal biru dibentuk segitiga sebagai atap, tanah kering menjadi alas berlindung mereka dari teriknya matahari Sulteng.
Belum lagi kalau malam tiba dan hujan datang, hanya bisa merebahkan lelah di tenda pengungsian, melawan dingin dan menjaga agar hujan tak sampai banjir ke dalam tenda.
Ketika fase darurat sudah terlewati, berarti pemulihan pascabencana menunggu untuk segera diinisiasi.
Permulaan fase pemulihan ini pun digerakkan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu.
Sebuah tanah lapang yang berada di ketinggian perbukitan, menjadi tempat ACT mendirikan Integrated Community Shelter (ICS) atau Hunian Komunitas Terintegrasi pertama di Kota Palu.
Hunian terintegrasi ini resmi dimulai pembangunannya pada Kamis (25/10/2018).
“Setelah melalui proses pemilihan lokasi yang paling layak dan aman untuk ditinggali, kami menyiapkan ICS pertama dibangun di Lapangan Sepak Bola RT 01/02, Jalan Totosi, Kelurahan Duyu,” jelas Direktur Program Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat ACT, Sri Eddy Kuncoro.
HUNIAN TERINTEGRASI DENGAN MASJID
Hingga hari permulaan pembangunan ICS di Lapangan Kelurahan Duyu, puluhan tenda-tenda terpal masih mengisi tiap petak lapangan.
Sri Eddy Kuncoro menjelaskan, di dalam tenda terpal dihuni berdesakan lebih dari satu keluarga. Mayoritasnya merupakan korban terdampak gempa di Kelurahan Duyu, Balaroa, dan Kampung Lere.
“Insya Allah hunian terintegrasi yang dibangun di Lapangan Duyu ini akan menjadi rumah baru bagi para pengungsi korban gempa dari wilayah terdekat. Shelter berdiri di atas lahan 52×70 meter, jumlah hunian yang akan terbangun sebanyak 96 pintu. Satu masjid juga akan berdiri berukuran 12×12 meter,” papar Sri Eddy Kuncoro atau yang akrab disapa Ikun.
Memegang identitas sebagai Hunian Komunitas Terintegrasi, tak hanya rumah juga masjid yang akan dibangun.
Fasilitas lain seperti Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK) sebanyak 12 pintu akan berdiri menopang kebersihan pemukim.
Dapur umum, gudang logistik, dan ruang kesehatan juga akan berdiri di lahan yang memiliki pemandangan Kota Palu dari atas ini.
“Setelah kami melihat kondisi sekitar shelter, kami tidak didirikan sekolah karena sekolah yang ada tidak terdampak gempa dan masih dapat digunakan,” tutur Ikun.
Melengkapi kebutuhan dasar lain, di atas lahan ICS Lapangan Kelurahan Duyu ini, ACT juga akan menggali sumur bor untuk memasok kebutuhan air bersih.
“Karena lokasinya berada di ketinggian, sumur tidak bisa digali dangkal. Kami menyiapkan sumur bor untuk memastikan air bersih bagi keluarga pengungsi di ICS Duyu terjaga pasokan airnya,” katanya.
Sementara itu, General Manager Komunikasi ACT, Lukman Azis Kurniawan yang dihubungi media ini, Kamis malam menambahkan, selain di Duyu Kota Palu, pembangunan hunian layak bagi pengungsi juga tengah didirikan di tiga titik lainnya yakni dua di Kabupaten Donggala dan satu Kabupaten Sigi.
“Untuk Kota Palu itu satu titik pembangunan shelter, Donggala dua titik, dan Sigi satu titik. Untuk luasannya saya belum dapat informasi lengkapnya,” katanya Lukman Azis.
Fasilitas penunjang di tiap lokasi shelter juga didirikan, namun itu tergantung dari luas lahannya.
Ia menuturkan, titik lokasi pembangunan ICS masih akan bertambah, tergantung kesiapan dari pemerintah daerah soal penyiapan lahannya.
“Kita berharap makin luas lahannya makin banyak fasilitas yang dihadirkan di lokasi itu,” katanya.
Hampir sebulan pascagempa, menurut catatan dari pihak kelurahan ada 150 kepala keluarga yang rumahnya rusak berat akibat gempa, Jumat (28/9) silam.
Husnan (63) misalnya, salah satu penyintas gempa yang rumahnya tak layak lagi digunakan. Perempuan lewat usia paruh baya ini, kini tinggal bersama ibundanya mengungsi di bawah tenda terpal pengap dan panas di lapangan lokasi ICS bakal dibangun. Satu hal yang menarik, Ibunda Husnan yang ikut mengungsi kini telah menjejak di usia ke 106!
“Ini Ibunda saya, namanya Jija, usianya 106 tahun. Alhamdulillah gempa kemarin bisa saya gendong ibu keluar,” ujarnya.
Husnan bercerita, rumahnya memang tidak sampai ambruk, tapi kondisinya rusak berat. Sewaktu gempa, Husnan yang sedang berwudu Salat Magrib langsung terjatuh terjungkal.
“Saya ingat ada ibu saya di dalam kamar. Langsung saya gendong ibu keluar. Suara guncangan dan gemuruh itu membuat saya trauma sampai hari ini. Sekarang rumah saya dindingnya terbelah dua, lantainya ada yang terbumbung,” katanya.
Mengetahui lapangan yang dipakainya untuk mengungsi bakal didirikan hunian terintegrasi, senyum simpul hadir di gurat wajahnya.
“Insya Allah kalau di sini dibangun rumah baru, saya gembira. Saya mau tinggal di sini. Sementara ini yang paling dibutuhkan itu tempat tidur. Kita cuma tidur di tanah. Kalau malam dingin sekali, kalau hujan banjir di sini air menggenang di tenda kami,” kisah Husnan. CAL
Komentar