SultengTerkini.Com, PALU– Setiap tahun pemerintah pusat telah menganggarkan dana desa yang cukup besar untuk diberikan kepada desa. Sebagai gambaran pada tahun 2015 lalu, dana desa dianggarkan sebesar Rp 20,7 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp 280 juta.
Lalu tahun 2016 dana desa meningkat menjadi Rp 46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp628 juta dan di tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 800 juta.
Pencapaian dana desa selama ini dirasa perlu untuk disempurnakan.
“Olehnya jadi tugas kita untuk merencanakan mengelola dan mengawal dana desa ke depan. Hal ini dilakukan agar dana desa bisa semakin berpihak kepada masyarakat miskin,” demikian kata Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Longki Djanggola pada acara pembukaan Sosialisasi Pengawasan Dana Desa oleh Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) bertempat di salah satu hotel di Kecamatan Palu Selatan, Selasa (13/11/2018).
Menurut Gubernur Longki, pemerintah kecamatan merupakan tingkat pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat.
Hal ini yang kemudian menjadikan Camat sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan serta sebagai urusan otonomi yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk dilaksanakan dalam wilayah kecamatan.
Namun tugas tersebut tidak serta merta memposisikan camat sebagai kepala wilayah kecamatan tetaplah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.
Selain melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan camat juga melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintahan di atasnya untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
Dimana meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan, dan kewenangan lain yang dilimpahkan.
Pada kesempatan itu gubernur juga menekankan tiga fokus pengawasan yang harus diterjemahkan melalui koordinasi ke dalam teknis pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Ketiga hal yang dimaksud yakni APIP menjadi Clearance dalam menentukan apakah pengaduan masyarakat berindikasi administrasi atau pidana.
Kedua, APIP harus mampu mencegah terjadinya pungutan liar dan korupsi di instansi masing-masing.
Ketiga, APIP benar-benar mampu berfungsi sebagai early warning system dan berorientasi kepada pencegahan.
Dalam rumusan rancangan peraturan pemerintah tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai pengganti PP Nomor 79 Tahun 2005 telah diatur mengenai bentuk koordinasi yang dilakukan oleh APIP dengan APH yaitu pemberian informasi, verifikasi, pengumpulan data dan keterangan, pemaparan hasil pemeriksaan penanganan laporan atau pengaduan masyarakat dan bentuk koordinasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu lanjut gubernur, APIP harus merancang kegiatan pengawasannya dari tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.
Hal ini memerlukan koordinasi yang efektif antara inspektorat daerah dengan objek pemeriksaan serta antara inspektorat daerah dengan BPK.
“Dengan koordinasi yang efektif maka diharapkan tidak terjadi tumpang tindih pengawasan yang bertubi-tubi dan yang terpenting tidak terjadinya kekosongan pengawasan,” jelas gubernur.
Hadir pada kesempatan itu, Kejati Sulteng M Rum, Kepala Inspektur Daerah Sulteng Muchlis serta pejabat terkait lainnya. CAL
Komentar