Irigasi Gumbasa Rusak Picu Perlambatan Ekonomi Sulteng

WhatsApp Image 2019-11-04 at 23.23.11
KEPALA Bank Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah, Abdul Madjid Ikram saat memberikan gambaran perkembangan perekonomian terkini Provinsi Sulawesi Tengah di Bungku, ibukota Kabupaten Morowali, belum lama ini. FOTO: DOK BI SULTENG

SultengTerkini.Com, PALU- Rusaknya irigasi Sungai Gumbasa menjadi salah satu pemicu perlambatan ekonomi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada triwulan II tahun 2019.

Pada triwulan II, pertumbuhan ekonomi Sulteng tercatat sebesar 6,62 persen atau sedikit melambat dibanding pertumbuhan ekonomi pada triwulan I sebesar 6,98 persen.

Perlu diketahui, bencana alam gempa bumi pada 28 September 2018 merusak saluran irigasi Sungai Gumbasa yang mengairi 5.000 hektar lebih lahan pertanian di Kabupaten Sigi.

Upaya rehabilitasi irigasi tahap pertama seluas 1.070 hektar belum mampu mendorong stabilitas produksi pertanian di kabupaten itu.

Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulteng, Abdul Madjid Ikram membenarkan hal ini. Menurut Abdul Madjid, masih tertahannya sektor pertanian ditambah belum stabilnya sektor perdagangan dan akomodasi makanan minuman, juga turut memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi ini.

Bahkan, kata Abdul Madjid, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pascabencana juga menurun.

“Perlambatan ekonomi juga disebabkan oleh realisasi belanja pemerintah yang sedikit terkendala pada triwulan II 2019 akibat beberapa program harus disesuaikan dengan program pasca bencana,” tutur Abdul Madjid Ikram saat memberikan gambaran perkembangan perekonomian terkini Provinsi Sulawesi Tengah di Bungku, ibukota Kabupaten Morowali, belum lama ini.

Dia mengatakan, pascabencana gempa bumi, sebagian besar lapangan usaha utama berada pada fase perlambatan. Sektor pertambangan sedikit terpengaruh bencana terutama pada galian C di Kabupaten Donggala dan sekitarnya.

Sementara itu, sektor industri lebih dipengaruhi oleh kondisi negara mitra dagang.

Dari sisi inflasi, kata Abdul Madjid, Sulteng tercatat deflasi 0,35%  atau inflasi 5,71% (year on year) pada September 2019.

Masih tingginya inflasi tahunan sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor base effect, yakni dampak dari tingginya inflasi pascagempa.

Namun jika dillihat perkembangan inflasi secara akumulasi atau year to date (ytd) hanya 1,4% (ytd), masih jauh lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir yakni 2,28% (ytd).

Meski terjadi perlambatan, sambung Abdul Madjid, pertumbuhan ekonomi Sulteng masih cukup baik. Lapangan usaha konstruksi justru terakselerasi pascagempa yakni tumbuh hingga 12% (yoy).

Selain didukung oleh faktor pembangunan pascabencana,  usaha konstruksi juga didukung oleh pembangunan pabrik dan PLTU di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PLTA Poso, serta pembangunan lainnya.

Di sisi lain net-ekspor Sulteng masih tercatat surplus meski impor tumbuh tinggi. Surplus ekspor mencapai USD 1,73 miliar pada Januari-Agustus 2019, atau tumbuh 2,76% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. GUS

Komentar