Penyakit ASF Dijuluki Pembunuh Senyap, Asisten Elim Somba: Sampai Sekarang Belum Ada Obatnya

WhatsApp Image 2019-11-05 at 11.30.43
ASISTEN Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Elim Somba saat membawakan sambutan dalam Forum Grup Diskusi Mitigasi Penyakit Hewan Menular ASF di Gedung Pogombo, Kota Palu, Selasa (5/11/2019). FOTO: HUMAS

SultengTerkini.Com, PALU– Penyakit ternak African Swine Fever (ASF) oleh Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) Elim Somba dijuluki silent killer (pembunuh senyap) karena sifat serangan yang tiba-tiba, tanpa gejala awal dan sangat mematikan.

“Belum ada obatnya. Jadi kita harus ekstra hati-hati,” tegas Asisten Elim Somba merespon penyakit berbahaya yang jadi topik Forum Grup Diskusi (FGD) Mitigasi Penyakit Hewan Menular ASF di Gedung Pogombo, Kota Palu, Selasa (5/11/2019).

ASF telah menyebabkan kematian 3 juta ekor ternak babi di Cina, Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam sampai April 2019 dan dikhawatirkan dapat masuk ke Indonesia.

Beberapa kabupaten di Sulteng tercatat sebagai sentra peternakan babi rakyat yaitu di Kabupaten Sigi, Donggala, Poso, Banggai, dan Parigi Moutong.

Olehnya dia menyambut baik FGD dalam rangka menyamakan persepsi, metodologi, dan sinergitas mencegah masuknya wabah ini ke Sulteng.

Dirjen Otoritas Veteriner Nasional katanya, sebenarnya telah merekomendasikan tindakan teknis di ranah preborder, border dan postborder guna meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit yang belum bisa disembuhkan ini.

“Meliputi TKH (Tindakan Karantina Hewan) di tempat tujuan dan pembatasan lalu lintas oleh instansi terkait yang berwenang,” kata Asisten Elim Somba di antara contoh kebijakan yang bisa ditempuh.

Sementara itu, Kepala Balai Karantina Kelas II Palu drh Ida Bagus Hary Soma Wijaya menyampaikan, bila ASF sampai ke Indonesia berpotensi mematikan pendapatan 285.315 peternak babi lokal dengan taksiran kerugian mencapai lebih dari Rp 258 miliar.

Menurutnya, Indonesia adalah eksportir utama bagi Singapura dengan total ekspor mencapai 279.278 ekor babi hidup dan 613 kilogram produk olahan senilai total Rp 837 miliar.

“Semoga kita memperoleh hasil konkrit untuk menyusun sistem kewaspadaan dan kesiagaan menghadapi wabah ini,” pungkasnya.

Dalam FGD sehari ini, pihak balai mengundang peserta dari Dinas Peternakan dan Kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota se Sulteng, otoritas bandara dan pelabuhan, bea cukai, dokter hewan, dan mitra teknis.

Adapun narasumber berasal dari Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani Badan Karantina Pertanian dan Pengurus Dokter Hewan Indonesia pusat. CAL

Komentar