Sulteng Bergerak: Tidak Boleh Ada Aktivitas Tambang Skala Besar di Poboya!

WhatsApp Image 2019-11-24 at 11.46.10
PETA rencana pola ruang Kota Palu 2018-2038. FOTO: IST

SultengTerkini.Com, PALU– Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu mengatakan, pihaknya tidak membantah jika PT Citra Palu Minerals (CPM) telah melalui tahapan pemberian Izin Operasi (OP) sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Tetapi kata dia, semua tahapan itu dilakukan sebelum terjadi gempa bumi pada 28 September 2018, sehingga bentang alam pasti mengalami perubahan pasca terjadinya fenomena alam yang menimbulkan tsunami, likuefaksi, dan penurunan tanah.

Untuk itu, kata Adriansa, perlu ada Kajian Risiko Bencana (KRB) pascakejadian memilukan itu, apakah perusahaan itu layak beroperasi atau tidak.

Sebab, kata dia, Kota Palu adalah salah satu daerah yang memiliki potensi rawan bencana sangat tinggi di Indonesia.

“Kami tidak mempersoalkan proses pemberian izin (OP) yang telah dilalui perusahaan tambang milik Bakrie Grup, yang kami soroti adalah aspek kebencanaannya jika benar perusahaan PT CPM tetap akan beroperasi di bukit Poboya,” kata Adriansa kepada SultengTerkini.Com, Senin (25/11/2019).

Dia mengatakan, jika merujuk pada pola ruang revisi tata ruang Kota Palu 2018-2038 yang sedang proses penyusunan, harusnya tidak boleh ada aktivitas pertambangan skala besar di kawasan Poboya.

Sebab katanya, peta pola ruang revisi tata ruang Kota Palu jelas sekali menyebutkan bahwa kawasan itu merupakan kawasan rawan bencana longsor.

Apalagi kata Adriansa, di sekitar Poboya ada sesar yang sewaktu-waktu bisa bergerak.

“Kawasan Poboya itu punya potensi rawan bencana apakah itu tidak berbahaya bagi warga yang bermukim di sekitar areal itu?,” tanya Adriansa.

Dia mengatakan, pihaknya sama sekali tidak menolak investasi masuk di daerah ini, tetapi perlu ada pertimbangan risiko bencana karena itu menyangkut hidup matinya orang banyak.

Dia menuturkan, jika anak usaha PT Bumi Resources Minerals Tbk itu telah melakukan kajian risiko bencana sendiri terkait dengan rencana pengelolaan emas di Poboya, maka baiknya dibuka ke publik dokumennya, sehingga masyarakat tidak resah ketika perusahaan ini mulai melakukan pengerukan.

“Di areal penambangan PT CPM sangat dekat dengan pemukiman warga dan dekat dengan pusat kota. Jika mereka telah memiliki studi atau kajian terkait dengan antisipasi risiko bencana, maka penting PT CPM menyosialisasikan hasilnya kepada masyarakat sekitar, termasuk kepada semua masyarakat Kota Palu,” kata Adriansa.

POBOYA MERUPAKAN KAWASAN SUAKA ALAM TAHURA

Pemberian ruang kepada salah satu anak usaha BRMS merupakan kebijakan fatal dan bias politis. Sebab, kata Adriansa, areal PT CPM merupakan kawasan Tahura yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam dalam SK.8113/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Huntan Provinsi Sulawesi Tengah hingga tahun 2017.

“Harusnya fungsi KSA tidak boleh untuk kegiatan budidaya pertambangan. Ini sangat mengherankan kok dengan mudahnya KSA menjadi areal pertambangan, padahal fungsi kawasannya sangat tinggi,” tuturnya.

Adriansa menduga ada proses yang dilewati dalam pemberian ruang KSA untuk kegiatan pertambangan di Poboya.

Sebab menurutnya, tidak mudah menurunkan status kawasan hutan yang jelas-jelas fungsinya sangat tinggi. “Itu tahapannya sangat panjang, kok hanya dalam waktu singkat KSA bisa beralih fungsi,” jelas Adriansa.

Menurut Adriansa, kalaupun ada usulan penurunan status kawasan mestinya ada kajian dari tim terpadu yang dibentuk oleh kementerian terkait.

Itu pun kata Adriansa, tahapannya sangat panjang karena harus mempertimbangkan aspek ekologisnya, apalagi di Kota Palu memiliki potensi bencana.

Dia Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak melanjutkan pemberian ruang kepada perusahaan tambang di Kota Palu dalam proses revisi tata ruang provinsi yang sedang berlangsung.

“Harapan kita, pemerintah provinsi harus mengutamakan aspek kebencanaan dalam revisi tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Jangan sampai nafsu mengeruk alam lebih besar daripada aspek keselamatan manusia,” tegas Adriansa.

Apalagi kata Adriansa, pegunungan Poboya merupakan sumber air bersih bagi ratusan ribu penduduk Kota Palu.

“Kita belum tahu bagaimana perusahaan itu mengelola limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan warga Kota Palu yang menggunakan sumber air dari atas pegunungan termasuk yang menggunakan air tanah dalam,” pungkas Adriansa Manu. CAL

Komentar