SENIN tanggal 2 Maret 2020, Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Polisi Syafril Nursal memberikan keterangan pers mengenai rencana operasi penambangan ilegal (ilegal mining) yang kembali beroperasi di beberapa tempat wilayah hukum Polda Sulawesi Tengah.
Penjelasan ini memberi sinyal positif untuk perbaikan tata kelola lahan yang setiap tahunnya mengalami degradasi secara masif.
OLEH: SYAHRUDIN A. DOUW, SH*)
Ilegal mining bukan lagi hal baru terjadi di Sulawesi Tengah, tetapi illegal mining telah ada sejak tahun 2009 khusunya di Poboya.
Penambangan 2009 meluas hingga Kecamatan Dondo Kabupaten Tolitoli, Kecamatan Toili di Kabupaten Banggai, Kecamatan Moutong dan di desa Kayuboko Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi Moutong, dan terakhir di Dongi-dongi dan sekitarnya di Kabupaten Poso.
Maraknya penambangan illegal (tanpa izin) dilakukan oleh kelompok-kelompok yang didanai oleh cukong-cukong lokal, dan tidak sedikit informasi beredar bahwa terdapat oknum-oknum “penegak hukum” ikut terlibat dalam membekingi aktivitas ilegal di beberapa tempat di Sulawesi Tengah.
Parahnya lagi, aktivitas illegal mining telah melibatkan modal besar, sehingga dalam pengerukan harus menggunakan alat-alat modern seperti ekskavator dan kendaraan truk pengangkut material dengan jumlah yang banyak.
Aktivitas ini menjadi konsumsi publik, tidak terkecuali aparat penegak hukum.
Selain ilegal mining, kita juga butuh transparansi jumlah merkuri dan sianida yang beredar di Sulawesi Tengah.
Sebab penambangan sejak tahun 2009 telah menggunakan merkuri dan sianida.
Dan yang sangat mengejutkan penambang-penambang luar daerah seperti dari Ambon dan Maluku, juga datang ke Kota Palu untuk membeli merkuri dan sianida tersebut dalam jumlah yang banyak, sehingga asumsi publik menguat bahwa peredaran merkuri dan sianida di Kota Palu menjadi lazim dan tidak bisa dilakukan penindakan secara hukum.
Seharusnya pasar bahan berbahaya tersebut juga tidak boleh didiamkan oleh Kapolda jika benar akan melakukan tindakan penertiban, sebab bagaimanapun.
Walau penambangan berhenti, akan tetapi bahan berbahaya seperti merkuri masih tersedia. Hal ini akan mengundang aktivitas penambangan kembali.
Karena penjualan bahan berbahaya tersebut dilakukan secara umum, tidak menggunakan pendekatan undang-undang, dimana bahan-bahan berbahaya tersebut harusnya dijual untuk kebutuhan legal yang bisa di audit penggunaannya.
Jika masih dijual secara serampangan, maka pelakunya harus diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Aktivitas Ilegal Mining Merugikan Masyarakat dan Negara
Aktivitas penambangan secara ilegal juga berdampak buruk bagi warga sekitarnya, seperti yang terjadi di Kabupaten Parigi Moutong.
Setidaknya terdapat 1.700 hektare sawah, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong mengalami gagal panen akibat material hasil penambangan berupa lumpur memasuki persawahan warga.
Petani kita dirugikan akibat ulah penambangan ilegal. Dan atas peristiwa tersebut, semua lepas tangan dan tidak satupun pihak yang bertanggungjawab terhadap gagal panennya sawah petani.
Sebelumnya, akibat penambangan ilegal di Dongi-dongi, berdasarkan penjelasan Kapolda Sulteng seorang warga dibacok karena dipicu oleh tidak adilnya pembagian hasil tambang.
Hal ini tidak bisa dibiarkan, karena pertambangan model komunal seperti terjadi hingga kini, merupakan penambangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selanjutnya penambangan ilegal di Poboya, menggunakan merkuri dan sianida untuk memisahkan material batu, tanah dan emas.
Dan penggunaan merkuri dan sianida telah berlangsung lama dengan jumlah yang cukup banyak.
Warga Kota Palu tidak mengetahui berapa jumlah zat berbahaya tersebut saat ini yang mencemari lingkungan dan yang pasti akan berdampak buruk buat masyarakat umum.
Kedepan, pasti akan terjadi dampak negatif akibat zat merkuri dan sianida, lantas tidak satupun yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Terakhir, kontribusi illegal mining bagi negara, sudah pasti tidak ada.
Lahan akan rusak, bencana pasti datang. Tetapi dari semua kerugian dan ancaman bahaya tersebut, yang paling rentan disalahkan adalah negara, karena lalai mengantisipasi dan bahkan membiarkan peristiwa melanggar hukum itu tetap terjadi.
Untuk itu, sebagai penutup. Masyarakat menghendaki institusi kepolisian (Kapolda Sulteng) bekerja profesional, tidak lagi mengulang model penindakan yang dilakukan oleh kapolda sebelumnya, menutup tambang, kemudian tidak dilakukan upaya pemantauan dan cenderung membiarkan pemasok merkuri dan sianida.
*) Penulis adalah Advokat dan Pengamat Pertambangan
Komentar