Undang-Undang (UU) Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota.
Salah satu diantaranya adalah larangan melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali jika mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.
Oleh: Dr Aminuddin Kasim SH MH*)
Larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak hanya ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang mencalonkan atau dicalonkan dalam Pilkada (Petahana), tetapi juga ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana.
Pasal 71 ayat (2) ini termasuk kategori norma imperatif-wajib ditaati oleh Petahana dan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana.
Konsekuensi hukum atas pelanggaran Pasal 71 ayat (2) adalah ancaman pidana penjara dan denda (Pasal 190 UU Pilkada). Ketentuan Pasal 190 ini dilekatkan fungsi hukum (a tool of social control) – agar tercegah pelanggaran Pasal 71 ayat (2). Pasal 71 ayat (2) lebih kental daya imperatifnya jika dibandingkan Pasal 71 ayat (3). Sebab, Pasal 71 ayat (3) tidak tersebut dalam Pasal 190 atau luput dari ancaman pidana penjara dan denda.
Khusus bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2), selain diancam dengan pidana penjara dan denda (Pasal 190), juga dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU di daerah (Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada). Jadi, bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2) terkena konsekuensi hukum ganda, yakni ancaman sanksi pidana dan sanksi administratif.
Mengingat pentingnya norma imperatif dilekatkan dalam Pasal 71 ayat (2) sehingga Bawaslu RI serta Bawaslu di daerah gencar melakukan sosialisasi sejak Januari hingga Februari 2020.
Sosialisasi yang dilakukan Bawaslu RI melibatkan para Bupati/Walikota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. Sosialisasi gelombang I berlangsung di Padang (28/1-2020), Gelombang II di Manado (4/2-2020), dan Gelombang III di Banjarmasin (11/2-2020).
Lebih dari itu, Kemendagri RI juga menyosialisasikan SE Mendagri No. 273/487/SJ, tertanggal 21 Januari 2020, antara lain di Bali (27/2-2020) dan menghadirkan Sekda se-Indonesia. Jadi, upaya pencegahan terhadap pelanggaran Pasal 71 ayat (2) sudah dilakukan secara massif.
TMS Dulu, Menyusul Pembatalan
Jika dicermati substansi Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, maka tertangkap kesan bahwa Petahana yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2) ditetapkan dulu sebagai calon, lalu menyusul pembatalan. Tafsir ini tidak bisa lagi dipertahankan setelah adanya Putusan MA No 570 K/TUN/PILKADA/2016 tertanggal 4 Januari 2017.
Putusan MA ini membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017.
Inilah akibat dari pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Bupati Drs H Rum Pagau (Petahana) dalam kurun waktu 6 bulan sebelum penetapan Paslon (24 Oktober 2016).
Dalam ratio decidendi putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, Majelis Hakim Kasasi (MA) tidak dapat membenarkan pertimbangan Majelis Hakim (Judex Facti) PT-TUN Makassar yang berpendapat bahwa calon Petahana hanya dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai calon ketika calon Petahana apabila melakukan pelanggaran setelah ditetapkan sebagai Paslon oleh KPU.
Bagi Majelis Hakim MA, ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 sudah cukup jelas mengatur mengenai larangan melakukan mutasi berlaku 6 bulan sebelum ditetapkan Paslon sampai masa jabatan berakhir.
Pertimbangan hukum MA di atas, idealnya menjadi referensi tambahan bagi KPU di daerah ketika menindak-lanjuti rekomendasi Bawaslu di daerah (Pasal 139) terkait dengan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Petahana.
Bukan hanya Putusan MA di atas, KPU di daerah juga terikat dengan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 (Perubahan PKPU No. 3 Tahun 2017). Pasal 89 huruf a dengan tegas menyebutkan bahwa Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri.
Jadi, Pasal 89 huruf a menetapkan syarat tambahan bagi Petahana. JIka Petahana terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) berdasarkan kajian dan rekomendasi Bawaslu di daerah, maka KPU di daerah harus mendiskualifikasi atau menyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Petahana.
Komisioner KPU di daerah pasti memahami makna diksi syarat. Diksi syarat selalu berada di depan atau mendahului tindakan penetapan (keputusan).
Keabsahan setiap tindakan hukum berupa penetapan (keputusan) ditentukan oleh keterpenuhan dan keabsahan syarat. Saat proses verifikasi syarat calon dan pencalonan berlangsung (tentu saja sebelum tanggal penetapan Paslon), dapat dipastikan bahwa komisioner KPU di daerah tidak mungkin menegasikan syarat tambahan dalam Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 sepanjang ada Petahana yang pernah melanggar Pasal 71 ayat (2).
Alasannya sederhana, PKPU tersebut adalah aturan (hukum) yang bermakna perintah. Meminjam pendapat Hart (1994), bahwa hukum adalah perintah (law is command) dari pejabat berwenang. Jadi, PKPU No. 1 Tahun 2020 adalah law is command – perintah dari komisioner KPU di pusat kepada komisioner KPU di daerah ketika berlangsung tahapan pencalonan dalam Pilkada Serentak.
Lalu, kapan pembatalan Paslon dilakukan KPU di daerah jika ada Paslon terbukti melanggar UU Pilkada? Khusus bagi Paslon Petahana yang terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2), aturannya merujuk pada ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU No. 1 Tahun 2020.
Keputusan pembatalan khusus bagi calon Petahana tentu saja didahului dengan adanya tindakan penetapan Paslon – notabene calon Petahana (MS) – atau Petahana yang tidak terjaring dengan ketentuan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020.
Bagi penulis, substansi Pasal 90 ayat (1) huruf e sesungguhnya beroperasi setelah tanggal penetapan Paslon.
Sebab, larangan dalam Pasal 71 ayat (2) masih berpotensi dilanggar oleh Calon Petahana sehari setelah dia ditetapkan sebagai Paslon Pilkada, menjelang berakhir masa kamapnye, pada masa minggu tenang atau sebelum berakhir masa jabatan. Dalam ruang ini berlaku Pasal 90 ayat (1) huruf e (pembatalan calon).
Jadi, tampak jelas garis pembatas antara Pasal 89 huruf a dengan Pasal 90 ayat (1) huruf e UU Pilkada.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu