
SultengTerkini.Com, PALU– Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), salah satu lembaga non pemerintah (NGO) ikut aktif membantu masyarakat nelayan pesisir Teluk Palu yang luluhlantak akibat bencana dahsyat, gempa bumi disusul tsunami dan likuefaksi di perairan Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.
Selain di pesisir Teluk Palu, Kiara juga membantu pemulihan ekonomi para nelayan di pesisir pantai barat Kabupaten Donggala, karena banyaknya yang kehilangan peralatan melaut.
Di Kota Palu, Kiara membantu para nelayan di lima titik, salah satunya adalah nelayan Pantai Talise.
Arham (52), nelayan Pantai Talise mengatakan, pasca bencana Pemerintah Kota Palu melalui penyuluh mendata kembali perahu-perahu yang masih bisa diperbaiki nelayan diberikan cat dan lem untuk perbaikan perahu.
Kemudian dari pihak Kiara memberikan bantuan kedua.
“Bantuan Kiara sangat kami rasakan pasca gempa. Pendapatan kami sedikit meningkat, rasanya tidak bisa hanya mengucapkan terima kasih untuk Kiara yang sudah membantu kami perahu dengan mesinnya,” kata Arham, salah satu nelayan di Pantai Talise.
Arham menyebutkan, bantuan juga datang dari pemerintah berupa perahu dan mesin berbahan bakar gas serta perahu fiber sedang didistribusikan untuk membantu nelayan yang sudah ditentukan.
Bahkan berkat bantuan perahu dan mesin, nelayan sudah bisa membeli kendaraan.
Berbeda dengan Arham, Rina (40), menjadi satu-satunya nelayan perempuan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut Teluk Palu.
Pendapatannya pun kembang kempis alias tidak menentu setiap harinya. Kadang lumayan dan pas buat kebutuhan dapurnya saja. Belum lagi harus membiayai kuliah dan sekolah enam anaknya.
“Saya memang asal Ternate. Sejak kecil sudah tinggal di Kampung Lere setelah bersama tante ke sini (Palu),” ucap Rina.
Dalam perjalanannya, Rina melaut berbekal sebuah perahu tanpa mesin. Setiap kali turun melaut, Rina harus mendayung hingga beberapa ratus meter dari bibir Teluk Palu. Kondisi itu dijalaninya hingga 15 tahun lamanya.
“Saya pernah mengajukan permohonan bantuan, tetapi tidak bisa karena tempat tinggal saya di pesisir pantai dan bukan hak milik,” ucap Rina.
Nelayan lainnya, Asmaun justru mengkhawatirkan kehadiran buaya di Teluk Palu dan menjadi ancaman setiap saat bagi nelayan.
“Kami takut karena bisa saja kami jadi korban berikutnya. Buaya kadang ada di samping perahu saat kami hendak turun di Subuh hari,” kata Asmaun.
Dia meminta kepada pemerintah atau pihak terkait agar bisa mengamankan buaya-buaya di Teluk Palu sehingga memberikan rasa aman kepada nelayan dan masyarakat umum.
Sementara kondisi serupa juga dialami para nelayan di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Setengah dari pemukiman nelayan yang terletak di bibir pantai itu hancur akibat terjangan tsunami.
Semua peralatan melaut hancur. Hampir setahun tidak bisa beraktivitas dan tidak memperoleh pendapatan.
Koordinator Nelayan Tompe Aswad menyatakan, kegiatan melaut setelah dihantam gempa dan tsunami baru dilakukan setahun kemudian.
“Semua perahu dan alat tangkap rusak dihantam tsunami. Rumah-rumah juga banyak yang hancur,” tutur Aswad.
Menurut Aswad, pasca bencana para nelayan tidak dapat beraktivitas. Setahun kemudian setelah ada bantuan perahu, barulah bisa melaut.
“Tangkapan juga mengalami penurunan dibandingkan sebelum bencana. Sekarang ini paling dua ratus ribu rupiah pendapatan perhari dari melaut,” ujarnya.
Untuk perahu bantuan, tambah Aswad, khusus nelayan Tompe sebanyak 65 nelayan yang mendapatkan bantuan.
Sementara itu, Kiara dalam Emergency Response pasca bencana dua tahun silam sudah menyalurkan 650 perahu bagi para nelayan pesisir Teluk Palu dan Donggala.
Perahu-perahu dipesan dan dibuat di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat.
Deputi Monitoring, Evaluation, and Learning (MEL) Kiara, Nibras Fadhillah menyebutkan, bantuan perahu bagi nelayan itu sudah dilengkapi dengan mesin.
Satu perahu dibanderol tarif produksi hingga Rp 7 juta dan ditambah mesin menjadi Rp 10 juta.
“Terutama di wilayah pesisir Kabupaten Donggala, Teluk Palu, dan sekitarnya. Kiara mencatat setidaknya terdapat lebih dari 7.000 kapal dan alat tangkap yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami di tahun 2018. Dalam merespon situasi dan kondisi tersebut, Kiara bersama dengan CCFD dan AFD (Agence Française de Développement) melihat akan pentingnya pemulihan mata pencaharian masyarakat pesisir, khususnya nelayan Teluk Palu dan Donggala, harus menjadi prioritas,” kata Nibras.
Nibras Fadhillah menjelaskan, pemulihan tersebut juga harus disertai dengan pengetahuan terkait mitigasi reduksi bencana dan pengembangan kapasitas lainnya yang dibutuhkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir Teluk Palu dan Donggala, termasuk menyertakan perempuan dan inklusif pesisir yang juga menjadi sasaran program Kiara dalam tiga tahun ke depan.

Nonsense bicara memberikan kapasitas, menambah pengetahuan dan penyadaran jika livelihood masyarakat nelayan belum bisa dipulihkan.
Secara perlahan sejak akhir tahun 2018, Kiara mulai melakukan bantuan distribusi alat produksi perahu sebanyak 650 keluarga nelayan, yang dibuat dengan cara tradisional dan menggunakan kearifan lokal berdasarkan permintaan.
Seperti perahu harus dibuat dari kayu-kayu yang memang kuat dibawa melaut, harus bercadik, dan harus dibuat oleh para pembuat perahu tradisional perahu khas Sulawesi di Mamuju dan Majene. Perahu ini dipercaya kuat dan tidak mudah rusak jika diajak melaut.
Sejauh ini Kiara telah membagikan sebanyak 630 perahu dengan total mesin 500 buah yang telah didistribusikan ke beberapa desa dan kelurahan di Teluk Palu dan Donggala seperti Kelurahan Lere, Talise, Mamboro, Pantoloan, dan Desa Tompe.
Dalam catatan Kiara, kini perahu bantuan ini telah memulihkan secara perlahan ekonomi nelayan dalam setahun terakhir. Kini rata-rata nelayan bisa mendapatkan penghasilan rata-rata per hari sekitar Rp 200-700 ribu.
Secara perlahan mereka kini bisa kembali menyekolahkan anak, menyicil motor yang hilang guna membantu mobilitas kerja.
Beberapa kelompok nelayan juga berupaya membangun kembali rumah yang sempat rusak dan porak poranda dari hasil menangkap ikan di laut dengan perahu Kiara.
AFD bersama Kiara dalam proyeknya menggelontorkan dana sebesar Rp 16 miliar yang meliputi berbagai bantuan kapal dan pemberdayaan nelayan. Proyek tersebut berlangsung selama tiga tahun di Palu. NUR















