PALU– Kekacauan dalam pemberian izin tambang di Sulawesi Tengah (Sulteng) telah menghadirkan banyak dampak buruk bagi lingkungan serta masyarakat, seperti perampasan lahan-lahan rakyat, kriminalisasi, hingga pencemaran lingkungan hidup tidak mampu dihindari.
Di tengah upaya rakyat mempertahankan ruang-ruang hidupnya, pemerintah tampaknya justru membuka jalan lebar bagi para pelaku-pelaku bisnis tambang, dalam upaya memperkuat dominasi penguasaan ruang produksi yang sangat berimplikasi terhadap kerusakan lingkungan hidup di Sulteng.
Demikian disampaikan Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, Aulia Hakim kepada jurnalis media ini, Kamis (3/2/2022).
Dia mengatakan, wacana membuka seluas-luasnya peluang investasi di Sulteng tidak hanya diarahkan untuk kepentingan pendapatan daerah ataupun penyerapan tenaga kerja saja.
Tentunya kedua hal tersebut tidak dapat dinafikan, akan tetapi konsekuensi negatif dari keberadaan perusahaan tambang juga harus menjadi prioritas untuk diselesaikan karena yang selalu merasakan dampak buruknya adalah masyarakat bukan pengusaha.
Belum lagi dengan hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang menimbulkan berbagai masalah, seperti pada Pasal 162 yang menyatakan tentang masyarakat yang mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apapun dapat dipidana, hingga denda sebesar Rp 100 juta.
Selain itu, juga risiko masyarakat menanggung seluruh dampak akibat kerusakan lingkungan, bagaimana tidak perusahaan yang terbukti telah melakukan perusakan lingkungan dan tidak melaksanakan reklamasi atau kegiatan pasca tambang, tetap bisa memperpanjang kontrak selama dua kali selama 10 tahun.
Seiring munculnya virus Omnimbus Law yang disahkan di penghujung tahun lalu melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau biasa disebut Cilaka yang dinilai inkonstitusional, mengakibatkan lemahnya delegasi penerbitan persetujuan lingkungan yang kemudian diubah hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, seperti dalam Pasal 63 ayat (1) huruf y dijelaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
Serta partisipasi masyarakat dalam pembuatan Analisis Dampak Lingkungan dipangkas, sebelum ada UU Cilaka keterlibatan masyarakat dan pemerhati lingkungan diutamakan, sekarang yang diatur dalam UU tersebut hanya masyarakat terdampak saja yang dilibatkan.
“Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah kini menjadi keran cuan bagi para oligarki, konsekuensinya warga Sulteng kini harus menanggung setengah juta hektare deforestasi hutan, ditambah lagi ancaman kerusakan laut akibat ambisi pemerintah membangun pabrik bahan baku kendaraan listrik yang mengakibatkan sekiranya 25 juta ton limbah tailing nikel bakal dibuang ke laut Morowali,” tuturnya.
Dia mengungkapkan, laporan Walhi Sulteng hingga tahun 2021 Sulteng memiliki sebaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan jumlah total 1.150 izin, masing-masing adalah pertambangan mineral logam dan batuan yang tersebar di 13 kabupaten/kota.
Hal Ini menandakan bahwa Sulteng sedang dalam kepungan industri-industri ekstraktif.
Walhi Sulteng menyarankan kepada Gubernur Sulteng sebaiknya lebih mendahulukan perbaikan-perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam.
Sebagai langkah awal gubernur mengevaluasi seluruh perizinan perusahaan tambang maupun perkebunan sawit di Sulteng.
Menurut pengamatan Walhi Sulteng, dua sektor usaha inilah yang paling banyak menyumbang masalah-masalah lingkungan serta konflik agraria di pedesaan.
Dia berharap, masalah-masalah buruknya tata kelola Sumber Daya Alam serta maraknya konflik agraria di Sulteng dapat menjadi prioritas gubernur untuk diselesaikan. “Bukan justru tutup mata dan lebih mengarah pada kepentingan para pemodal daripada menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat,” tegasnya. CAL
Komentar