Menatap Indonesia, Menanti Harapan

-Opini, Utama-
oleh

TAHAPAN proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di depan mata, momentum lima tahunan pesta demokrasi akan bergulir dan momen ini digunakan oleh rakyat sebagai pemilik pemerintahan dengan segala harapannya untuk suatu keyakinan kehidupan yang lebih baik kedepan.

OLEH: SIGIT WIBOWO AM*)

Sang nakhoda dan kapalnya bisa silih berganti dengan segala kondisi cuaca, tetapi pemilik pelabuhan akan terus melakukan pemeliharaan, pengembangan, dan pengamanan agar setiap pelayaran, baik keberangkatan, maupun  kedatangan terlayani secara maksimal untuk menggapai sebuah harapan dan tujuan.

Terciptanya Pemilu jujur dan adil menjadi harapan seluruh anak bangsa dan bukan sekadar slogan, karena kualitas proses pemilu jujur dan adil menjadi penentu lahirnya wakil rakyat yang memiliki integritas tinggi.

Membangun bangsa bukan hanya dari segi stuktur tapi juga kultur integritas pengelolaan negara bukan hanya memperkuat struktur tapi juga harus membangun   kultur integritas yang kuat, struktur meliputi (profesional-kompetensi-kinerja-efektivitas) ialah sebuah syarat pasti.

Sedangkan Kultur Integritas (sikap mental, disiplin, kejujuran, ketangguhan, keuletan serta moralitas) ialah sebuah keharusan. Titik lemah sumber daya manusia bangsa kita saat ini bukan pada masalah struktur, tetapi pada masalah kultur integritas.

MAKNA INTEGRITAS

Sebagian besar orang mungkin sudah familiar mendengar kata integritas, namun belum memahami sepenuhnya apa makna kata tersebut.

Integritas merupakan komponen penting dalam membangun karakter bangsa sehingga siap memasuki peradaban global.

Intergritas dikenal dengan nilai-nilai anti korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membagi integritas ke dalam tiga komponen nilai-nilai.

Pertama, nilai integritas inti, yaitu jujur, bertanggung jawab, dan disiplin. Berintegritas jujur adalah lurus hati, tidak curang dan tidak berbohong.

Sementara tanggung jawab memiliki arti siap menanggung akibat dari perbuatan yang dilakukan alias tidak buang badan.

Adapun disiplin merupakan sikap taat terhadap peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

MENINGKATNYA KASUS KORUPSI

Berdasarkan data yang dirilis Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 28 April 2022 mencatat ada 533 penindakan kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) sepanjang 2021.

Dari seluruh kasus tersebut, total potensi kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 29,4 triliun.

Dari data tersebut menunjukkan bahwa betapa buruknya komponen (pengelola negara) bangsa kita. Hal ini imbas dari lemahnya SDM kultur integritas komponen pengelola negara, dimana kejujuran sudah tak lagi dikedepankan, terlebih maraknya kasus korupsi tersebut terjadi di tengah krisis moneter dan ekonomi yang melanda dunia dan Indonesia akibat pandemi Covid-19.

REVOLUSI MENTAL MASIH JAUH DARI HARAPAN

Revolusi mental dicetuskan oleh Soekarno saat pidato kenegaraan mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Revolusi mental saat itu agar supaya Indonesia menjadi negara yang berdaulat dalam aspek politik, dan mandiri dalam hal ekonomi, dan berkarakter dalam hal sosial budaya.

Tidak hanya Soekarno, Presiden Jokowi pun menyerukan revolusi mental, dimana adanya sebuah Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), yang dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru untuk mewujudkan negara Indonesia yang berdaulat dan berkarakter.

Tetapi ternyata revolusi mental saat ini masih sangat jauh dari harapan. Revolusi Mental hanya tampak sebuah slogan yang dihembuskan. Buktinya mental para elit saat ini banyak yang bermental korup dan terjerat kasus.

Mantan Presiden RI ke 4 KH Abdurahman Wahid (Gusdur) dalam guraunnya pernah menyatakan bahwa tipe manusia kelas dunia dalam tiga kluster.

Kluster 1, negara dengan banyak bicara-banyak bekerja (contohnya Amerika, dan China). Kluster 2, negara dengan sedikit bicara banyak bekerja (contohnya Jepang, Korea). Kluster 3, negara dengan sedikit bicara sedikit bekerja (Afrika, dan lain-lain).   Gus Dur sama sekali tidak menyebutkan Indonesia berada dalam kluster mana, tetapi di akhir guyonannya Gus Dur menyatakan “mengapa Indonesia tidak berada di ketiga kluster itu, karena di Indonesia apa yang dikatakan dan apa yang akan dikerjakan berbeda”. Mungkin gurauan atau guyonan Gus Dur ada maknanya.

TUGAS BARAT BAWASLU DI DEPAN MATA

Ada seribu satu cerita dibalik Pilpres 2019 dan Pilkada 2020 beberapa saat yang lalu. Ratusan perkara sengketa pilkada bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dapat disimpulkan gugatan-gugatan itu tidak dapat diterima.

Begitupun sengketa dugaan pelanggaran Pemilu 2019 yang dianggap terstruktur, sistematis, masif (TSM) oleh salah satu pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.

Karena tidak memiliki bukti pelanggaran, pelanggaran pemilu seolah seperti kentut, tidak tampak dan tidak bisa dipegang, hanya bau pelanggarannya yang tercium oleh mereka yang masih memiliki penciuman tingkat tinggi.

Tidak dapat diterimanya ratusan gugatan sengketa pemilu tersebut dikarenakan sulitnya syarat  pembuktian kecurangan TSM pelanggaran pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 283, TSM harus memenuhi tiga unsur yakni: terstruktur, sistematis dan masif.

Sebagaimana dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2018, Menurut Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018 maksud dari pelanggaran administrasi pemilu yang terjadi secara TSM dibagi menjadi dua objek.

Dijelaskan objek pertama yaitu perbuatan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kedua, adanya unsur perbuatan atau tindakan yang menjanjikan memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilu atau pemilih secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Makna terstruktur adalah pelanggaran yang dilakukan melibatkan aparat structural seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan, atau struktur aparatur sipil negara (ASN).

Sedangkan yang dimaksud dengan sistematis adalah pelanggaran yang dilakukan dengan perencanaan yang matang, tersusun, dan rapi. “Contohnya (pelanggaran sistematis) bisa dibuktikan misalnya berhubungan dengan politik uang, ada rapat-rapat yang bisa dibuktikan dengan dokumen yang membuktikan pasangan calon untuk merencanakan melakukan politik uang, dan yang disebut dengan pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran bersifat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu dan paling sedikit terjadi di setengah wilayah pemilihan.

Sebagai contoh pelanggaran secara masif yaitu pelanggaran atau perbuatan itu terjadi lebih di 50 persen dari jumlah total provinsi untuk Pilpres.

Rumitnya pembuktian pelanggaran Pemilu kategori TSM tersebut berakhir dengan kekecewaan para pasangan calon yang menggugat hasil pemilu, sehingga akan menimbulkan kesan tersembunyi dari pasangan-pasangan calon  yang kecewa, “lebih baik kita bermain curang saja” karena toh tidak dapat dibuktikan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Momen Pemilu serentak tahun 2024 menjadi tonggak harapan bagi Bangsa Indonesia, tentunya seluruh rakyat Indonesia memiliki harapan besar atas Pemilu yang berkualitas yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, sehingga melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang bukan hanya memiliki struktur yang baik tapi juga memiliki kultur integritas yang kuat karena mereka inilah yang nantinya memikul amanah rakyat untuk mengelola negara.

Bawaslu sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap proses pelaksanaan pemilu dituntut bekerja keras serta pengawasan yang ketat terhadap proses pelaksanaan pemilu.

Terlebih pada potensi terjadinya politik uang yang akan berpeluang besar melahirkan perilaku korupsi.

Data KPK menyebutkan hingga tahun 2021 terdapat 429 kepala daerah hasil pilkada yang terjerat korupsi.

Data lain mengungkap sepanjang semester I tahun 2021, sudah 10 kepala daerah (satu gubernur, dua walikota dan tujuh bupati/wakil) yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Dari pengakuan sejumlah kepala daerah yang tertangkap tangan, korupsi untuk mengembalikan secara cepat biaya politik yang telah dikeluarkan.(Pos Kota (22/11/2021).

Orang pandai sering berkata bahwa hari ini adalah produk hari kemarin dan yang akan mempengaruhi hari esok. Pemilu mendatang akan menentukan nasib Bangsa Indonesia kedepan. ***

*) Penulis adalah pemerhati politik yang berlatar belakang Sarjana Hukum Bidang Hukum Tata Negara, blogger, jurnalis lepas, dan sering terlibat dalam proses pemilihan umum baik pilpres maupun pemilihan kepala daerah

Komentar