Indonesia Sejahtera Melalui Sawit, PWI Sulteng Gandeng GAPKI Bahas Fenomena Konflik Agraria

-Utama-
oleh

PALU – Pada tahun 2022/2023, Indonesia memproduksi 45,5 juta metrik ton crude palm oil (CPO) sehingga United States Departement of Agriculture (USDA) menempatkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Sayangnya, perjalanan produksi minyak sawit di Indonesia ini tidak berjalan mulus. Konflik agraria antar masyarakat dengan perusahaan sawit maupun konflik sosial lainnya menjadi fenomenal akhir-akhir ini.

Padahal, bila fenomena ini tidak terjadi, visi Indonesia sejahtera melalui kelapa sawit dapat terwujudkan.

Guna mencari akar persoalan serta mencari solusi atas persoalan ini, Persatuan Wartawan Indonesia Sulawesi Tengah (PWI Sulteng) menggandeng Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Sulawesi  melalui workshop yang mengangkat tema ‘Konflik Agraria dan Implikasi Hukum’ di Indonesia.

Kegiatan yang digelar secara hybrid di Hotel Palu Golden, Jum’at (20/10/2023) tersebut dihadiri Ketua PWI Sulteng, Tri Putra Toana, Ketua Dewan Pembina GAPKI Cabang Sulawesi, Muchtar Tanong; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Hotman Sitorus serta Ketua GAPKI Cabang Sulawesi, Doni Yoga Perdana melalui zoom.

Dalam sambutannya, Ketua PWI Sulteng, Tri Putra Toana menuturkan, workshop tersebut digagas sebagai tanggungjawab PWI untuk meningkatkan dan memberikan pengembangan wawasan persoalan kelapa sawit.

Menurut Ongki, sapaan akrabnya, industri kelapa sawit di Indonesia dalam perkembangannya sedang mengalami diskriminasi di Uni Eropa dengan undang-undang anti deforestasi.

Undang-undang itu menurut Tri, sejatinya adalah perang dagang persaingan antara minyak nabati produk eropa agar sawit Indonesia sulit masuk ke teritori Uni Eropa.

“Sehingga apabila ini terjadi, hampir 20 juta yang bergantung di kelapa sawit akan mengalami kesulitan pengembangan ekonomi sehingga PWI Sulteng mencoba bersinergi dengan GAPKI Sulawesi sehingga dapat memberikan pandangan kepada pemangku kepentingan,” tuturnya.

Ketua GAPKI Sulawesi, Doni Yoga Perdana menuturkan, hadirnya perusahaan kelapa sawit bisa memberikan manfaat bagi semua pihak, bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

Saat ini, kata dia, regulasi terbaru dari industri kelapa sawit menekankan pada sistem informasi perijinan perkebunan yang terpusat.

Khusus untuk anggota GAPKI di Sulteng, keseluruhannya sudah menyelesaikan pengisian regulasi tersebut.

“Ini langkah awal yang baik untuk fundamental untuk industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” singkatnya.

Data yang dimiliki oleh GAPKI, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia cukup pesat dalam dua dekade terakhir.

Pada tahun 2000, perkebunan sawit yang tercatat di Indonesia sebanyak 4 juta hektar yang terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta.

Kemudian pada tahun 2020, peningkatan luas areal perkebunan meningkat signifikan menjadi 14,996 juta hektar.

Perkebunan sawit ini didominasi oleh perkebunan besar swasta yang menguasai 8,2 juta hektar, disusul perkebunan rakyat sebesar 6,09 juta hektar dan perkebunan besar nasional 643 hektar.

Khusus di Sulawesi Tengah, perkebunan sawit yang tercatat hingga tahun 2022 sebesar 145.873 hektar. Perkebunan sawit ini terdapat di Kabupaten Morowali, Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Donggala.

Ketua Dewan Pembina GAPKI Cabang Sulawesi, Muchtar Tanong menyebutkan, kehadiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia maupun di Sulawesi Tengah, pada dasarnya memberi tiga manfaat yakni manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan manfaat sosial budaya.

Dari sisi ekonomi, kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta penguatan struktur ekonomi daerah dan nasional.

Sementara dari fungsi ekologi, perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penghasil oksigen serta penyangga hutan lindung.

Sedangkan dari fungsi sosial budaya, kata Muchtar, perkebunan kelapa sawit mampu menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Lantas mengapa keberadaan perkebunan kelapa sawit di sebuah daerah kerap mengundang konflik, baik antar masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan masyarakat?

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Hotman Sitorus menuturkan, konflik kerap terjadi akibat adanya tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan.

“Sudah numpang, menindih lagi,” ujar Hotman yang juga sebagai advokat ini.

Hotman mengatakan, biang kerok konflik ini adalah Undang-undang Cipta Kerja Pasal 110 A dan Pasal 110 B.

Menurut dia, adakalanya sebuah perusahaan perkebunan beroperasi seluruhnya di dalam areal kawasan hutan atau sebagian wilayah izin usaha perkebunannya masuk dalam kawasan hutan.

Atau, lanjut Hotman, ada perusahaan yang perkebunannya lebih sempit dibandingkan izin lokasinya serta adapula yang perkebunannya melebihi dari izin lokasi yang diberikan pemerintah.

“Ketika ini terjadi, pasti menimbulkan masalah,” terangnya.

Konflik agraria juga kerap terjadi lantaran adanya ego sektoral instansi terkait sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan kelapa sawit.

Adanya konflik agraria ini disebabkan oleh banyak hal.

“Apakah perusahaannya nakal, pemerintah kabupaten atau provinsi dalam menerbitkan izin lokasi maladministrasi, kementerian lingkungan hidup yang maladministrasi dalam menetapkan kawasan hutan atau teknologi kementerian yang tidak akurat dalam memetakan kawasan hutan,” jelasnya.

Padahal, dalam praktek di lapangan, izin lokasi, Izin Usaha Perkebunan maupun Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun kementerian pasti melibatkan banyak unsur. GUS

Komentar