JALUR GAZA– Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh menyerukan warga Palestina menggelar unjuk rasa di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, pada awal Ramadan.
Seruan itu meningkatkan pertaruhan dalam negosiasi gencatan senjata di Gaza yang sedang berlangsung, yang diharapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, akan terwujud pada saat itu, menurut laporan Reuters.
Seruan Haniyeh menyusul komentar Biden bahwa kesepakatan dapat dicapai antara Israel dan Hamas secepatnya pekan depan untuk gencatan senjata selama bulan puasa, yang diperkirakan akan dimulai pada 10 Maret.
Israel dan Hamas, yang delegasinya di Qatar pekan ini membahas rincian kemungkinan gencatan senjata selama 40 hari, mengatakan masih ada jurang pemisah yang besar di antara mereka. Mediator Qatar mengatakan belum ada terobosan.
Masjid Al-Aqsa di kota tua Yerusalem, salah satu situs paling suci di dunia bagi umat Islam dan paling suci bagi orang Yahudi, telah lama menjadi titik rawan potensi kekerasan, terutama selama hari raya keagamaan.
Ketika perang berkecamuk di Gaza, Israel mengatakan mereka mungkin menetapkan batasan untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa selama Ramadan, sesuai dengan kebutuhan keamanannya. Banyak warga Palestina yang menolak pembatasan akses terhadap tempat suci tersebut.
“Ini adalah seruan kepada masyarakat kami di Yerusalem dan Tepi Barat untuk berbaris ke Al-Aqsa sejak hari pertama Ramadan,” ungkap Haniyeh pada Rabu (28/2/2024).
Juru bicara pemerintah Israel, Tal Heirich, menggambarkan pernyataan Haniyeh sebagai “sangat disayangkan” dan menuduhnya “mencoba menyeret kita ke peperangan di bidang lain”. “Kami tentu tidak menginginkan hal itu. Kami pasti akan melakukan apa pun untuk menjaga ketenangan,” ujar dia.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan tujuan Hamas adalah untuk mengurangi tekanan terhadap para pejuangnya di Gaza dengan memaksa Israel mengalihkan sumber daya keamanan ke Yerusalem dan Tepi Barat. “Kita tidak boleh memberikan itu kepada mereka,” papar dia.
Hamas mengatakan pihaknya tidak akan membebaskan semua tawanannya tanpa kesepakatan komprehensif untuk mengakhiri perang. Israel yang menyerang Jalur Gaza, menewaskan 30.000 orang menurut otoritas kesehatan Palestina.
Rezim kolonial Zionis mengatakan pihaknya hanya akan menyetujui penghentian sementara untuk pembebasan sandera, dan tidak akan mengakhiri perang sampai Hamas dibasmi.
Dalam pidatonya di televisi, Haniyeh mengatakan Hamas menunjukkan fleksibilitas dalam negosiasi dengan Israel namun, pada saat yang sama, siap untuk terus berperang. Israel mengatakan kesepakatan apa pun dengan Hamas akan mengharuskan kelompok tersebut membatalkan apa yang digambarkan Israel sebagai “tuntutan aneh”.
Dalam upaya paling serius sejauh ini untuk memperpanjang gencatan senjata, Hamas sedang mempertimbangkan proposal, yang disetujui Israel pada pembicaraan dengan mediator di Paris pekan lalu, untuk gencatan senjata selama 40 hari.
Satu sumber senior yang dekat dengan perundingan tersebut mengatakan perjanjian Paris akan mengharuskan pasukan Israel ditarik keluar dari daerah berpenduduk, dan sekitar 40 sandera dibebaskan, termasuk perempuan, mereka yang berusia di bawah 19 tahun atau di atas 50 tahun dan yang terluka, dengan imbalan sekitar 400 tahanan Palestina.
Namun hal ini tampaknya tidak memenuhi permintaan Hamas untuk mengakhiri perang secara permanen dan penarikan pasukan Israel, atau menyelesaikan nasib puluhan sandera Israel yang merupakan pria usia lanjut.
Haniyeh menyerukan lebih banyak dukungan dari negara-negara Arab. Dia juga menyerukan Poros Perlawanan dengan sekutu Iran, termasuk Hizbullah Lebanon, Houthi Yaman, dan Perlawanan Islam di Irak, serta negara-negara Arab, untuk meningkatkan dukungan mereka terhadap warga Palestina di Gaza yang menderita akibat serangan dan blokade Israel.
“Adalah tugas negara-negara Arab dan Islam untuk mengambil inisiatif untuk mematahkan konspirasi kelaparan di Gaza,” ungkap Haniyeh.
Seorang pejabat Palestina yang mengetahui perundingan gencatan senjata mengatakan kepada Reuters bahwa upaya mediasi semakin intensif, namun belum ada kepastian keberhasilannya.
“Waktu semakin mendesak karena Ramadan semakin dekat, para mediator telah meningkatkan upaya mereka,” ujar pejabat tersebut.
Dia menjelaskan, “Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah akan ada kesepakatan dalam waktu dekat, namun segalanya masih belum terhenti.”
Menteri Pertahanan Israel, Gallant, ketika ditanya tentang komentar optimis Biden bahwa kesepakatan dapat dicapai pada pekan depan, berkata, “Siapakah saya yang berani menyampaikan pendapat tentang apa yang dikatakan Presiden? Saya sangat berharap dia benar.”
Bantuan pangan yang mencapai Gaza telah menurun drastis selama sebulan terakhir, dan lembaga bantuan internasional mengatakan warganya hampir mengalami kelaparan.
Israel mengatakan blokadenya terhadap Gaza sangat penting dalam perangnya melawan Hamas dan memungkinkan masuknya pasokan kemanusiaan.
Pada Rabu, Israel mengatakan telah bekerja sama dengan Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Prancis dan Amerika Serikat untuk mengirimkan bantuan pangan melalui udara ke Gaza selatan.
Di Rafah, tempat lebih dari separuh 2,3 juta penduduk Gaza berlindung, beberapa pria bertopeng bersenjatakan pentungan dan beberapa orang lainnya membawa senjata berkeliling pasar dalam apa yang mereka katakan sebagai upaya menjaga harga tetap terkendali.
Penutup kepala mereka bertuliskan ‘Komite Perlindungan Rakyat.’ Seorang juru bicara yang mengenakan masker mengatakan kepada wartawan bahwa mereka dibentuk untuk mendukung Kementerian Dalam Negeri, dan memastikan masyarakat tidak dieksploitasi. Badan-badan bantuan mengatakan situasi paling mengerikan terjadi di bagian utara Jalur Gaza, yang hampir seluruhnya terputus.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, pada Rabu, bahwa empat anak meninggal akibat kekurangan gizi dan dehidrasi di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara. Rumah sakit itu sebelumnya mengatakan pihaknya menghentikan operasi karena kehabisan bahan bakar.
(sumber: sindonews.com)
Komentar