Penyelesaian Konflik Agraria Warga dan PT ANA Tidak Transparan

-Utama-
oleh

PALU– Serikat Petani Petasia Timur (SPPT) menghargai usaha pertemuan masyarakat lingkar PT Agro Nusa Abadi (ANA) yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Hal ini disampaikan oleh Pimpinan SPPT saat konferensi pers di kediaman Eva Bande, Desa Kalukubula, Kabupaten Sigi, Kamis (9/5/2024) sore.

Menurut Pimpinan SPPT, Ambo Endre, mediasi yang dilaksanakan di Kantor Gubernur Sulteng itu sebagai bentuk upaya untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan antara masyarakat dan PT ANA. Namun, kata Ambo upaya penyelesaian tersebut sangat tidak transparansi.

Pasalnya sebelum proses verifikasi dan validasi yang dilakukan unsur pemerintah, tidak melibatkan masyarakat khususnya yang tergabung dalam SPPT.

“Saya sebagai pimpinan serikat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses itu, padahal saya masuk dalam SK Gubernur sebagai pengawas,” ungkapnya.

Sementara itu, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS), Eva Bande mengkritisi soal Pemerintah Provinsi yang sampai saat ini tidak melakukan tindakan terhadap PT ANA, yang selama ini beroperasi tidak mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).

Lebih jauh aktivis agraria itu menjelaskan, perkebunan di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Sebuah perusahaan di bidang perkebunan harus memenuhi beberapa persyaratan, salah satunya adalah persyaratan pada Pasal 42 UU Perkebunan.

Sebelum dilakukannya pengujian pada pasal 42 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan bahwa kegiatan usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan.

Di dalam pasal tersebut terdapat frasa “hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan”.

Frasa tersebut dianggap bertentangan dengan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Adanya permasalahan tersebut MK melakukan pengujian kembali (judicial review) terhadap pasal 42 UU Perkebunan.

Dalam Putusan MK Nomor 138/PUU/XIII/2015, majelis hakim MK mengubah bunyi frasa yang semula “dan/atau” menjadi kata “dan” saja.

Sehingga perusahaan perkebunan baik yang sudah berdiri maupun akan mendirikan perusahaan perkebunan wajib memiliki hak atas tanah dan izin usaha perkebunan.

“Sehingga hal ini memastikan bahwa pemerintah dan perusahaan taat terhadap putusan MK, menyosialisasikan hasil keputusan ini kepada seluruh pihak terutama masyarakat dan petani kelapa sawit,” katanya.

Noval A Saputra menambahkan, anggota FRAS Sulteng yang memandu konferensi pers tersebut mengatakan bahwa berkaitan dengan verifikasi dan validasi lahan, pihaknya bersama SPPT telah memasukan data subjek maupun objek sejak 11 September 2023 kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, maka perlu dikawal secara serius.

Menurutnya, luasan lahan 740 hektare dengan jumlah 370 kepala keluarga tersebar di empat desa yakni Tompira, Bunta, Bungintimbe, dan Towara. */HAL

Komentar