WASHINGTON– Di banyak negara, termasuk Indonesia, isu mengenai gaji anggota parlemen selalu menjadi sorotan publik karena dinilai tidak seimbang dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Baru-baru ini, gaji dan tunjangan anggota DPR di Indonesia kembali menuai kritik tajam dari warga, yang menilai jumlahnya terlalu besar di tengah tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Fenomena ini sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia, sebab di sejumlah negara maju gaji anggota parlemen bahkan jauh lebih tinggi, mencapai ratusan ribu dolar per tahun.
Namun, perbedaan mendasar terletak pada konteks: di negara-negara dengan gaji parlemen tertinggi, transparansi, akuntabilitas, serta kualitas pelayanan publik umumnya berjalan beriringan dengan besarnya penghasilan wakil rakyat. Sebaliknya, di Indonesia, kritik masyarakat mencuat karena gaji besar anggota DPR sering kali tidak diimbangi dengan kinerja yang memuaskan maupun kepercayaan publik yang kuat. Hal inilah yang membuat perbandingan internasional soal gaji parlemen menjadi relevan sekaligus memicu diskusi panjang mengenai apakah penghasilan tinggi selalu berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Gaji Anggota DPR Tertinggi di Dunia
1. Amerika Serikat: Gaji Kongres Terbesar, Bahkan Menurut Standar Internasional
Anggota DPR dan Senat AS mendapat gaji pokok USD174.000 per tahun—menjadikannya legislatif paling berpendapatan tinggi jika diukur secara absolut di AS. Dengan kurs Rp16.283, itu setara Rp2,83 miliar per tahun.
Meskipun tidak terlalu besar dibandingkan penghasilan CEO korporasi, angka ini jauh di atas rata-rata pekerja profesional. Sebagian anggota bahkan menerima tambahan tunjangan — seperti dana perjalanan, staf, dan fasilitas kantor — membuat total remunerasi dapat jauh lebih tinggi.
Namun, konsep tunjangan ini dilegalisasi secara terbuka dan biasanya dipertanggungjawabkan publik. Secara relatif, dibanding GDP per kapita AS sekitar USD67.000, gaji legislatif termasuk moderat, tak menciptakan jurang ekstrem.
Meski begitu, kritik tetap muncul, terutama terkait penggunaan dana publik untuk fasilitas pribadi legislator, namun keseluruhan gaji ini tetap cukup diterima publik.
2. Kanada: Gaji Legislator yang Kompetitif
Kanada menempatkan legislatornya pada kisaran USD141.060 per tahun, yaitu sekitar Rp2,30 miliar. Ditambah tunjangan kantor dan transportasi, total kompensasi bisa menyentuh angka yang lebih tinggi, bisa mencapai sekitar 1,5–2 kali gaji pokok.
Dengan GDP per kapita Kanada sekitar USD50.000, remunerasi ini masih wajar dan relatif proporsional. Disokong sistem transparansi dan regulasi ketat, kritik tentang gaji legislatif di Kanada umumnya lebih terbatas pada struktur tunjangan daripada angka pokok.
3. Jerman: Legislator “Berduit” Plus Tunjangan Melimpah
Anggota Bundestag Jerman mendapatkan USD146.300 per tahun, sehingga sekitar Rp2,38 miliar per tahunnya.
Selain itu, mereka juga menerima tunjangan bulanan tetap (flat-rate) untuk kebutuhan kantor, perawatan staf, dan aktivitas politik lokal, yang jika digabung bisa mendongkrak total kompensasi mendekati USD200.000/tahun.
Namun, budaya transparansi membuat semua tunjangan tersebut tercatat terbuka. Karena GDP per kapita Jerman sekitar USD55.000, angka ini juga masih dalam batas wajar bagi negara maju.
4. Australia: Legislator Gaji Tinggi dengan Sistem Transparan
Di Australia, anggota parlemen federal (House of Reps dan Senat) mendapat USD146.930/tahun atau sekitar Rp2,39 miliar. Ditopang oleh sistem partai yang mapan dan tingkat kepercayaan publik relatif tinggi, gaji ini tidak memicu kontroversi besar.
Tunjangan transportasi, biaya perkantoran daerah, dan subsidi tempat tinggal (bagi legislator dari luar Canberra) menambah angka kompatibel mencapai USD200.000–220.000 per tahun. GDP per kapita Australia berkisar USD60.000, sehingga remunerasi ini dianggap sepadan.
5. Italia: Legislator Gaji Moderat Tetapi Disertai Tunjangan Lengkap
Legislatif Italia memperoleh gaji sekitar USD135.980/tahun, atau sekitar Rp2,22 miliar. Selain gaji pokok, mereka menerima tunjangan perumahan, transport, dan staf sekretariat.
Kebijakan subsidi ini telah menyebabkan kritik saat krisis ekonomi melanda Italia, karena masyarakat merasa legislator tidak cukup merasakan beban fiskal.
GDP per kapita Italia di kisaran USD35.000, sehingga remunerasi ini proporsional namun tetap mendapat pengawasan publik ketat.
6. Austria
Legislator mendapat USD134.890/tahun, sekitar Rp2,20 miliar. Disuport tunjangan staf dan kantor yang dikelola secara transparan.
7. Belgia
Belgia Gaji pokok USD114.860/tahun atau Rp1,87 miliar, dengan akses tunjangan biaya rumah, kantor, dan staf. Sistem multi tingkat pemerintahan di Belgia membuat total kompensasi bisa lebih tinggi bagi legislator yang aktif di level regional.
Kedua negara mengikutsertakan legislator dalam aturan gaji publik yang mudah diakses oleh warga, membatasi kontroversi remunerasi.
8. Korea Selatan: Legislator Asia dengan Gaji Tinggi
Dengan gaji pokok USD106.040/tahun (Rp1,73 miliar), ditambah tunjangan perjalanan, staf, dan lokasi kantor distrik, jumlah penuh bisa mencapai USD140.000–150.000. Meskipun GDP per kapita sekitar USD35.000, sistem demokrasi Korea Selatan cenderung terbuka terhadap publikasi gaji legislatornya.
Namun, kritik muncul terutama dari kelompok mahasiswa dan oposisi yang menyoroti ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat.
9. Kolombia
Legislator menerima sekitar USD105.710/tahun → Rp1,72 miliar. Plus tunjangan sekuritas dan kantor, total bisa menyentuh USD 130.000. GDP per kapita Kolombia rendah (USD6.000), menjadikan remunerasi ini sangat tinggi relatif terhadap rata-rata warga. Hal ini memicu kritik soal elitisme dan ketimpangan.
10. Jepang
Gaji pokok USD105.120/tahun (Rp1,71 miliar). Ditambahkan tunjangan kantor dan transport yang reguler, total kompensasi cenderung sekitar USD130.000–140.000. GDP per kapita Jepang tinggi (USD45.000), membuat honorarium ini proporsional.
11. Selandia Baru
Gaji legislator USD98.990/tahun → Rp1,61 miliar. Tunjangan perkantoran diberikan dalam bentuk dana tetap dan tidak memicu kontroversi besar.
12. Prancis
Gaji pokok sekitar USD99.520/tahun (Rp1,62 miliar). Jika ditambah allowance per bulan sebesar sekitar €13.127 (≈USD 14.500), total bisa mencapai USD 175.000–180.000 per tahun → Rp 2,8–2,9 miliar.
Dengan GDP per kapita sekitar USD40.000, ini tergolong tinggi dan sering menjadi topik protes di kalangan buruh.
13. Rusia
Legislator menerima sekitar USD78.610/tahun → Rp1,28 miliar. Tunjangan ekstra ada, namun struktur politik yang tertutup membatasi diskursus publik tentang remunerasi.
14. Swiss
Gaji pokok USD80.860/tahun (Rp1,32 miliar). Tambahan untuk staf (sekitar CHF33.000), biaya perjalanan, dan kantor dapat menggandakan kompensasi.
Transparansi finansial tinggi, namun kritik muncul soal mahalnya Swiss dalam hal perumahan dan harga hidup—membuat kenaikan gaji legislator tampak “wajar” setidaknya secara nominal.
15. Swedia
Anggota parlemen memperoleh USD92.450/tahun → Rp1,50 miliar. Sistem perawatan publik dan transportasi umum mengurangi kebutuhan tunjangan besar, sehingga gaji pokok relatif diterima sebagai “cukup”.
16. Brasil
USD90.980/tahun → Rp1,48 miliar. Ditambah tunjangan rumah, kendaraan, dan kantor, total kompensasi bisa mencapai USD120.000–130.000 → Rp1,95–2,12 miliar, sehingga memicu kritik di tengah kondisi ekonomi fluktuatif.
17. Filipina
Gaji pokok USD62.640/tahun → Rp1,02 miliar. Tunjangan termasuk kantor, kendaraan, dan staf kantor distrik; total kompensasi bisa menyentuh USD100.000 (Rp 1,6 miliar). Tapi karena GDP per kapita Filipina rendah, rasio ini menyebabkan sorotan tajam atas ketimpangan.
18. Afrika Selatan
Gaji USD70.250/tahun → Rp1,14 miliar. Tunjangan staf dan transport menambah jumlah efektif. GDP per kapita negara ini berkisar USD6.000, sehingga remunerasi legislatif relatif tinggi dan rawan kritik.
Mengapa Ini Penting?
1. Hubungan Gaji Legislator dan Ketimpangan Sosial
Negara-negara dengan gaji anggota legislatif tinggi secara absolut mungkin tampil mahal, tetapi jika GDP per kapita tinggi pula (misalnya AS, Kanada, Jerman), proporsionalitas tetap dijaga.
Namun di negara dengan GDP rendah (seperti Filipina atau Kolombia), gaji “miliaran rupiah” tersebut menciptakan jarak besar antara rakyat dan wakilnya, menimbulkan tuduhan elitisme dan ketidakpekaan politik.
2. Status Transparansi
Negara-negara demokrasi lanjut (Kanada, Jerman, Australia, Prancis, Swiss) menerapkan mekanisme pelaporan terbuka: gaji pokok dan tunjangan tercatat dan bisa diakses publik. Ini mengurangi potensi korupsi atau penyalahgunaan dana.
3. Tunjangan Pelengkap
Dalam banyak kasus, gaji pokok hanya sebagian dari kompensasi. Staf, kantor, transportasi, subsidi tempat tinggal, bahkan fasilitas keamanan adalah komponen penting yang bisa menggandakan gaji legislator.
4. Respons Publik dan Kritik Sosial
Di beberapa negara, Gaji legislatif yang tinggi menimbulkan reaksi keras: Filipina & Kolombia: rakyat menyuarakan bahwa legislator terlalu dibayar, sementara sektor publik (pendidikan, kesehatan) kurang memadai.
Italia dan Brasil: krisis fiskal atau pandemi memicu desakan pada legislator untuk menurunkan gaji atau tunjangan. AS: debat muncul soal perbedaan antara legislator dan PAC atau “lobbyist”, meski gaji legislatif sebenarnya tidak ekstrem dibanding CEO korporat.
5. Pertimbangan Budaya Politik
Negara Skandinavia (Swedia) dan Selandia Baru lebih memilih gaji pokok yang “cukup”, mengandalkan sistem publik yang kuat agar legislator tidak terlalu bergantung pada tunjangan besar.
Ini menciptakan kontrol publik alami dan integritas jangka panjang. Secara keseluruhan, negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jerman, dan Italia berada di urutan teratas dalam hal gaji pokok legislator — berkisar antara USD100 ribu hingga USD174 ribu per tahun, yang dikonversi menjadi miliaran rupiah berkat kurs saat ini (USD 1 ≈ Rp 16.283).
Namun, proporsionalitas terhadap GDP per kapita tetap menjadi pedoman keadilan sosial. Di negara maju, gaji tinggi dibarengi transparansi dan infrastruktur publik yang kuat; sedangkan di negara berkembang, meski angka absolut lebih rendah, rasio terhadap pendapatan nasional sering menimbulkan kritik.
Tunjangan dan fasilitas bukanlah tambahan kecil—mereka dapat menggandakan total kompensasi. Transparansi atas tunjangan ini menjadi kunci terhadap legitimasi publik legislator.
Akhirnya, dalam menyikapi isu remunerasi parlemen, dibutuhkan keseimbangan antara kompensasi yang memadai untuk menarik talenta politik yang berkualitas, dan kewajaran sosial agar kepercayaan publik terhadap institusi tetap terjaga.
(sumber: sindonews.com)










Komentar