PALU– Pengacara Publik menilai gugatan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman terhadap Tempo senilai Rp200 miliar berdampak secara konstitusi dan sosial. Karena ruang kritik dari partisipasi publik menjadi terbatas akibat ketakutan, akan gugatan serupa.
“Jadi sebenarnya sasaran ancaman terhadap gugatan tersebut tidak hanya menyasar jurnalis dan media, tapi juga menyasar publik ketika mengkritik kebijakan negara. Ini ancaman bagi publik terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi di Indonesia sebagai negara demokrasi,” kata Pengacara Publik, Mohammad Taufik dalam diskusi publik “Ketika Kuasa Menggugat Media, Membedah Dampak Gugatan Rp200 Miliar Terhadap Tempo”, diselenggarakan oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sulawesi Tengah (Sulteng), Kota Palu, Kamis (13/11/2025) malam, di Graha Pena Radar Palu.
Taufik menuturkan, kebebasan pers tidak lahir dari ruang hampa, ketetapan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya memberikan jaminan kepada semua untuk memberikan informasi dan mengakses informasi.
“Semangat dibentuknya Undang-Undang Pers tersebut menjamin kemerdekaan sebagai bagian tak terpisahkan dari kedaulatan rakyat. Ada perlindungan hukum diberikan terhadap kebebasan pers,” kata Taufik.
Dia menyebut, ada pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, Peraturan Dewan Pers Nomor 3 Tahun 2017 tentang pengaduan terhadap sengketa-sengketa jurnalistik.
“Setiap sengketa pers dalam bentuk apapun itu, semua harus lewat dewan pers. Sebab pers memiliki Undang-undang lex specialis, dalam asas hukum Undang-undang khusus lex specialis mengenyampingkan undang-undang umum,” ujarnya.
Sehingga kata Taufik, sengketa-sengketa pers dalam bentuk apapun itu, tidak bisa masuk dalam ranah perdata maupun dilapor secara pidana.
Pewarta Foto Senior Sulteng, Basri Marzuki berpandangan, kasus gugatan Amran tidak sekadar nilai nominal fantastis Rp200 miliar, dimensional sangat mendasar karena menyangkut etik profesi.
Basri mengatakan, undang-undang menegaskan bahwa semua terkait dengan sengketa pers itu selesainya di Dewan Pers.
Tempo sudah melaksanakan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) dikeluarkan oleh Dewan Pers, ternyata Mentan tidak puas, bahkan melanjutkan ke Pengadilan.
“Kita bisa membaca indikasinya, ini adalah upaya membungkam pers. Kritik terhadap sebuah sebuah fenomena itu adalah hak-hak pemenuhan media atas hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi,” katanya.
Dalam pandangan, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng Mohammad Iqbal melihat gugatan Mentan Amran terhadap Tempo sebagai upaya membangkrutkan media dan pembungkaman partisipasi publik.
“Ada indikasi Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP),” katanya.
Dia mengatakan, kemungkinan teknis anti-Slaap juga harus diterapkan dimasukkan ke dalam undang-undang pers.
“Gugatan tersebut juga membuat efek menakutkan bagi media-media independen skala kecil, belum punya modal likuid besar tanpa sadar membatasi diri sendiri berekspresi,” katanya.
Jangka panjangnya, daya kritis berkurang dan mungkin bisa jadi tidak lagi menjadi “watchdog” dalam pilar demokrasi di Indonesia ini.
Perwakilan Kelompok Masyarakat sipil, Richard Labiro menilai dan sepakat gugatan dialami di Tempo disebut, pembungkaman terhadap suara publik di tengah upaya untuk membongkar praktik politik pangan.
Dan bukan gugatan hukum biasa kata Direktur Yayasan Tanah Merdeka ini, tapi pesan bahwa negara sudah kontrol narasi atau wacana publik, dirinya melihat gugatan itu tidak lagi datang pada metodologi dalam validasi data.
Tetapi ketidaksenangan elit ketika sumber dapurnya dibongkar atau rahasianya ketahuan.
“Dan gugatan Rp200 miliar inilah salah satu upaya melawan partisipasi publik,” katanya.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Agung Sumandjaya mengatakan, mungkin saja modal Tempo itu tidak sampai Rp200 miliar.
Ketika Amran Sulaiman melayangkan gugatan Rp200 miliar kepada Tempo, ini kan suatu sinyal bahwa memang benar ada upaya Amran sengaja mematikan Tempo.
Ini adalah cara-cara pembredelan model baru dengan cara membangkrutkan Tempo.
Olehnya kata Agung sepakat gugatan Amran bukan hanya ancaman bagi Tempo, tapi ancaman bagi ekosistem media, maupun publik dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia dalam bersuara.
“Kalau kita saja pers yang katanya pilar keempat demokrasi bisa diancam dan dibungkam bagaimana dengan kawan-kawan (kelompok masyarakat sipil,” katanya.
Hal lain kata Agung mengganggu sejak beberapa tahun terakhir dan menjadi ancaman di daerah, yakni pemanggilan jurnalis sebagai saksi di kepolisian dalam kasus Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang berkaitan dengan karya jurnalistik.
Hal ini sangat mengganggu psikologis jurnalis yang melakukan tugas-tugas jurnalistiknya.
“Seharusnya berita yang sudah tayang itulah yang dijadikan penyidik alat bukti, tidak harus jurnalis lagi yang dipanggil. Kalau pun memanggil harusnya penanggungjawab redaksinya bukan kami yang di lapangan, ini sangat mengganggu,” ucapnya.
Apa yang menjadi keresahan jurnalis di daerah tersebut coba dijawab pula oleh Kasubdit II Direktorat Siber Polda Sulteng, Kompol Alfian yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Dia mengatakan, jurnalis agar jangan menjadikan Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebagai senjata tanpa mengikuti prosedur dan kode etik. Pihaknya mendukung pers selama berada dalam koridor, undang-undang serta kode etik.
Sebab bila pers, tidak ada masyarakat tidak mendapatkan informasi atau fenomena yang terjadi dengan benar.
Alfian menyebutkan, pihaknya dalam setiap penanganan laporan, bila beririsan dengan pers tetap akan berkoordinasi dan minta petunjuk kepada dewan pers, agar tidak keliru melangkah apakah kasusnya masuk ranah dewan pers atau pidana.
Diskusi yang dipandu Fauzi Lamboka dari Kantor Berita Antara ini, turut dihadiri perwakilan pers mahasiswa, jurnalis warga serta kelompok sipil masyarakat.
KKJ Sulteng sendiri, merupakan wadah dari sejumlah organisasi pers yang melindungi keselamatan jurnalis, seperti AJI Palu, AMSI Sulteng, IJTI Sulteng, PFI Kota Palu dan PWI Sulteng serta kelompok masyarakat sipil terdiri dari Jatam Sulteng, LBH Apik Sulteng dan LPS-HAM. CAL











Komentar