Hari Ini BPJS Sulteng Resmi Berlakukan Perpres 82 Tahun 2018

WhatsApp Image 2018-12-19 at 21.45.57
KEPALA BPJS Sulawesi Tengah Hartati Rachim saat konferensi pers di aula kantornya Jalan Sisingamangaraja, Rabu (19/12/2018). FOTO: VOSTA

SultengTerkini.Com, PALU– Menuju akhir tahun 2018, kehadiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 membawa angin segar bagi implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Tak hanya menyatukan sejumlah regulasi yang awalnya diterbitkan masing-masing instansi, perpres ini juga menyempurnakan aturan sebelumnya.

Kepala BPJS Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Hartati Rachim menerangkan, perpres tersebut menjabarkan beberapa penyesuaian aturan di sejumlah aspek.

Secara umum, ada beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat antara lain, pendaftaran bayi baru lahir.

Ia menjelaskan, dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018, bayi baru lahir dari peserta JKN-KIS wajib didaftarkan ke BPJS Kesehatan paling lama 28 hari sejak dilahirkan.

Aturan ini mulai berlaku tiga bulan sejak perpres tersebut diundangkan. Jika sudah didaftarkan dan iurannya sudah dibayarkan, maka bayi tersebut berhak memperoleh jaminan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Khusus untuk bayi yang dilahirkan dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), maka secara otomatis status kepesertaannya mengikuti orang tuanya sebagai peserta PBI.

Untuk bayi yang dilahirkan bukan dari peserta JKN-KIS, maka diberlakukan ketentuan pendaftaran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) pada umumnya, yaitu proses verifikasi pendaftarannya memerlukan 14 hari kalender, dan setelah melewati rentang waktu itu, iurannya baru bisa dibayarkan.

“Oleh karenanya, kami mengimbau para orang tua untuk segera mendaftarkan diri dan keluarganya menjadi peserta JKN-KIS, agar proses pendaftaran dan penjaminan sang bayi lebih praktis,” papar Hartati di hadapan sejumlah jurnalis di aula kantornya Jalan Sisingamangaraja, Rabu (19/12/2018).

Selanjutnya ada aturan suami istri sama-sama bekerja.

Jika ada pasangan suami istri yang masing-masing merupakan pekerja, maka keduanya wajib didaftarkan sebagai peserta JKN-KIS segmen PPU oleh masing-masing pemberi kerja, baik pemerintah ataupun swasta.

Keduanya juga harus membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Suami dan istri tersebut berhak memilih kelas perawatan tertinggi.

“Jika pasangan suami istri tersebut sudah mempunyai anak, maka untuk hak kelas rawat anaknya, dapat ditetapkan sejak awal pendaftaran dengan memilih kelas rawat yang paling tinggi,” katanya.

Soal tunggakan iuran, Hartati menjelaskan, perpres tersebut juga memberi ketegasan mengenai denda bagi peserta JKN-KIS yang menunggak.

Status kepesertaan JKN-KIS seseorang dinonaktifkan jika ia tidak melakukan pembayaran iuran bulan berjalan sampai dengan akhir bulan, apalagi bila ia menunggak lebih dari satu bulan.

Status kepesertaan JKN-KIS peserta tersebut akan diaktifkan kembali jika ia sudah membayar iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk 24 bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 18 Desember 2018.

“Kalau dulu hanya dihitung maksimal 12 bulan. Sekarang diketatkan lagi aturannya menjadi 24 bulan. Ilustrasinya, peserta yang pada saat perpres ini berlaku telah memiliki tunggakan iuran sebanyak 12 bulan, maka pada bulan Januari 2019 secara gradual tunggakannya akan bertambah menjadi 13 bulan dan seterusnya pada bulan berikutnya, sampai maksimal jumlah tunggakannya mencapai 24 bulan.

Sementara untuk denda layanan, Hartati menambahkan, diberikan jika peserta terlambat melakukan pembayaran iuran.

JIka peserta tersebut menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam waktu sampai dengan 45 hari sejak status kepesertaannya aktif kembali, maka ia akan dikenakan denda layanan sebesar 2,5% dari biaya diagnosa awal INA-CBG’s.

Adapun besaran denda pelayanan paling tinggi adalah Rp 30 juta.

Ketentuan denda layanan dikecualikan untuk peserta PBI, peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah, dan peserta yang tidak mampu.

Ketentuan ini sebenarnya bukan untuk memberatkan peserta, tapi lebih untuk mengedukasi peserta agar lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya membayar iuran bulanan.

“Jangan lupa, di balik hak yang kita peroleh berupa manfaat jaminan kesehatan, ada kewajiban yang juga harus dipenuhi,” pungkas Hartati Rachim. SAH

Komentar