12 Keluarga Terima Huntara Berbahan Bambu di Poboya

WhatsApp Image 2019-08-04 at 17.09.49
KUN Humanity System+ bersama Alumni Brawijaya Golf Club membangun hunian sementara berbahan bambu di Lapangan Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah yang serahterimanya dilakukan pada Sabtu (3/8/2019). FOTO: IST

SultengTerkini.Com, PALU– KUN Humanity System+ bersama Alumni Brawijaya Golf (ABG) Club bekerjasama dengan masyarakat yang mengungsi di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah telah menjalankan program Community Based Bamboo T-Shelter and Wash terkait penanggulangan pascagempa 28 September 2018 lalu.

Pada Sabtu, 3 Agustus 2019, KUN menyelenggarakan acara seremonial serah-terima 12 hunian sementara (huntara) berbahan bambu pada 12 keluarga yang mengungsi di lapangan Poboya.

Pada kesempatan yang sama, KUN juga mengapresiasi pihak Kelurahan Poboya secara dermawan meminjamkan lahannya kepada masyarakat yang mengungsi di wilayahnya.

Program berbasis masyarakat ini bertujuan untuk mendirikan rumah transisi pascabencana di Desa Poboya sebanyak 12 unit.

Kun Humanity System ini mendapatkan dukungan dari ABG, salah satu Lembaga Ikatan Alumni Mahasiswa Brawijaya yang menangani dampak memiliki hati terhadap aksi sosial dan kemanusiaan.

KUN Humanity System+ menginisiasi rumah transisi ramah lingkungan, seperti penggunaan material bambu dan material alami lainnya yang berada di sekitar pedesaan.

Keberadaan bambu, rotan, hingga alang-alang menjadi penyangga penting bagi para penyintas di desa ini dan sekitarnya.

Bagi warga, keberadaan rumah transisi ini telah memberi manfaat yang besar, seperti rasa aman, nyaman, dengan proses konstruksi yang tidak membutuhkan waktu lama.

KUN menilai bambu telah menjadi material penting sebagai penyangga utama dalam penanggulanan pascabencana di Palu maupun daerah lainnya di Indonesia.

Tanaman bambu hampir tumbuh subur dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Potensi ini bisa menjawab akan kebutuhan proses rekonstruksi pascabencana, khususnya sebagai penyediaan rumah transisi dengan skala proses rekonstruksi yang relatif cepat.

Program pengadaan rumah transisi ni telah melibatkan warga sejak perencanaan hingga proses konstruksi.

Sehingga warga mendapatkan banyak pembelajaran akan pentingnya kegunaan bambu, menumbuhkan semangat gotong royong, teknik ketukangan bambu, serta isu kelestarian lingkungan.

Disisi lain, gerakan ini juga telah mendorong para pengrajin di desa untuk memasok kebutuhan atap rumbia bagi rumah bambu ini.

Tentunya dengan pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaannya, pengerajin dan petani bamboo, yang tersebar dari Pantai Barat sampai ke Kulawi Selatan yang berjarak kurang lebih 150 kilometer, juga mendapatkan manfaat dari program ini.

KUN Humanity System+ adalah sebuah lembaga non pemerintah dari Bandung yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan lingkungan sejak 2018.

Khususnya, menangani tanggap darurat kebencanaan. KUN telah terlibat dalam gerakan kemanusiaan lainnya, seperti di Lombok dan Banten. Selain itu, KUN juga telah membuat berbagai pelatihan emergency response bagi warga dan porter yang tinggal di wilayah hutan dan pegunungan di Sumatera dan Jawa.

Rekonstruksi pembangunan pascabencana telah menjadi isu penting di Indonesia.

Proses rekonstruksi menyebabkan naiknya kebutuhan berbagai material bangunan dengan harga yang relatif mahal.

Termasuk tidak adanya pendampingan dan proses pelibatan warga dalam membangun huniannya. Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayahnya yang rawan bencana.

Kondisi ini menyebabkan warga kembali membangun rumah bertembok tenpa pemahaman konstruksi yang benar, yang justru bisa mengancam kehidupannya di kemudian hari.

Untuk itu, KUN mendorong penggunaan bambu dan materi alami lainnya sebagai jawaban hunian di wilayah bencana.

Melalui desain yang unik, adaptif, dan disesuaikan dengan nilai budaya lokal, menjadikan rumah hunian transisi ini memiliki nilai dan filosofi yang tinggi.

Termasuk melibatkan para ahli bambu dan arsitektur untuk saling berkolaborasi.

“Melalui pengawetan yang baik, rumah hunian ini diperkirakan bisa bertahan 20 tahun,” kata dokter Chandra Sembiring, Direktur KUN Humanity System+.

Untuk itu, warga memiliki waktu yang cukup untuk menanam bambu dilahan sendiri dan memenuhi kebutuhan mereka.

“Dalam lima hingga delapan tahun, warga bisa memanen bambu terbaiknya. Dan ini membuka peluang usaha bambu ke depan,” katanya.

Dalam wawancaranya, dr Chandra menambahkan, sekalipun pihaknya baru mengambil sedikit dari alam, KUN berkomitmen untuk melakukan penanaman belasan ribu bambu dan ribuan pohon untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di Sulawesi Tengah ini.

“Tentunya, dengan penanaman kembali yang direncanakan oleh KUN, diharapkan dalam lima tahun kedepan, masyarakat dapat memetik dampak positif dan Sulawesi Tengah dapat mandiri secara material konstruksi tanpa merusak hutan dan alamnya,” katanya. CAL

Komentar