Mengintip Teknologi Drone Amerika yang Tewaskan Jenderal Iran

Drone Amerika Serikat. Foto: Getty Images

SultengTerkini.Com, JAKARTA- Dunia dihebohkan dengan pembunuhan Komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani, dalam serangan misil yang ditembakkan lewat drone Amerika Serikat. Iran berjanji balas dendam sedangkan AS menganggap aksi itu pantas dilakukan.

Drone yang dipakai dalam serangan tersebut adalah MQ-9 Reaper yang terbang nyaris sunyi. Di angkasa, MQ-9 Reaper meluncurkan misil Hellfire yang dipandu laser, mengarah dengan tepat dan menghancurkan konvoi mobil Soleimani.

Dikutip detikINET dari Daily Mail, drone tersebut diterbangkan dari markas US Central Command yang berlokasi di Qatar. Dikendalikan oleh dua pilot secara remote, MQ-9 Reaper bisa terbang sampai 370 kilometer per jam dan dapat menyerang di lokasi manapun serta memperlihatkan tayangannya.

Reaper yang ongkos pembuatan satu unitnya ini USD 64 juta (Rp 893,4 miliar) dapat membawa 4 misil Hellfire dengan daya ledak cukup dahsyat, mampu menghancurkan tank. Penerbangan drone hampir-hampir tak menimbulkan suara sehingga target serangan tak menyadarinya.

Dilaporkan bahwa misil yang ditembakkan sudah dimodifikasi, namanya Hellfire R9X ‘Ninja’, yang didesain untuk meminimalisir kerusakan di sekitarnya. Moncongnya terdiri dari semacam bilah bilah pisau tajam dan mematikan.

Serangan presisi semacam itu membutuhkan pengamatan intelijen yang mendetail soal target serangan. Soleimani dilaporkan terus diawasi oleh intelijen AS, Israel, sampai Arab Saudi sebelum ditembak.

Menurut New York Times, Pentagon meraup informasi dari informan, pembajakan elektronik, pesawat pengintai dan teknik lainnya. Semuanya untuk memantau pergerakan Soleimani.

Aksi Pilot Drone

Operasional drone AS antara lain di pangkalan udara Creech di Las Vegas. Di sini pilot terpilih mengendalikan drone yang beroperasi di lapangan untuk membantu kepentingan militer AS. Mantan pilot yang pernah bekerja di sini, Michael Haas, menceritakan pengalamannya.

Ia bekerja antara tahun 2005 sampai tahun 2011, saat AS sangat agresif memburu kaum militan di berbagai negara. Dari depan komputernya, dia telah membunuh target militer AS nun jauh di sana di Afghanistan.

Tugas utama Haas adalah mengontrol kamera, laser dan perangkat untuk mengumpulkan informasi lainnya di drone Reaper dan Predator. Dia juga bertanggung jawab memandu misil Hellfire ke target, begitu misil itu ditembakkan oleh pilot lain di sampingnya.

Semua itu terasa mirip dengan permainan game, ia membunuh musuh dari layar komputer. Namun benar-benar ada orang terbunuh dan kadang mengusik nurani meski pemimpin mereka meyakinkan bahwa target pantas dieliminasi karena dianggap teroris dan membahayakan.

“Pernah menginjak semut? Seperti itu kamu dikondisikan soal target, hanya gumpalan hitam di layar. Kamu dibuat berpikir mereka pantas mendapatkannya, mereka di pihak musuh,” sebut Haas yang detikINET kutip dari Guardian.

Selama menerbangkan drone, Haas diperintah menembakkan dua misil untuk membunuh musuh. Mantan pilot lain bernama Brandon Bryant, terlibat langsung membunuh setidaknya 13 orang dalam 5 serangan misil Hellfire di Irak dan Afghanistan.

Program serangan drone AS memang kontroversial. Lembaga Amnesty International dan Human Rights Watch mengkritiknya karena serangan semacam itu cukup sering menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil. Namun pejabat AS menyatakan program itu vital untuk melawan kelompok militan.

Kecanggihan drone dianggap sangat efisien untuk menghancurkan musuh dan meminimalisir korban dari militer AS karena dikendalikan dari jarak jauh. Dalam sebuah survei yang pernah diselenggarakan oleh lembaga Pew, sebanyak 61% warga AS mendukung program drone.

(sumber: detik.com)

Komentar