SultengTerkini.Com, PALU– Pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa ganti rugi atau pesangon yang dilakukan Yayasan Bumi Tangguh (YBT) terhadap Aris Maripi (52), mantan karyawannya pada 20 April 2020 lalu, akhirnya berbuntut panjang dan berlanjut ke meja hijau atau persidangan di Pengadilan Negeri Palu.
Aris menggugat YBT dan Mona Saroinsong selaku Program Manager YBT ke meja hijau karena dirinya diberhentikan sebagai Shelter Program Manager sebelum berakhirnya masa kontrak kerja untuk membangun ratusan hunian tetap (huntap) di Desa Ramba dan Desa Bangga, Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, tanpa diberikan ganti rugi atau pesangon.
“Saya menggugat ke meja hijau Ibu Mona Saroinsong selaku Program Manajer yang memecat saya dan Yayasan Bumi Tangguh untuk mendapatkan keadilan karena saya dipecat sebagai Shelter Program Manager. Padahal kontrak kerja saya belum berakhir tanpa diberi ganti rugi atau pesangon sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,” kata Aris Maripi.
Sidang Penyelesaian Hubungan Industrial antara Aris Maripi dan pihak Yayasan Bumi Tangguh di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Palu itu sudah memasuki persidangan kedelapan pada Selasa (13/10) dengan agenda mendengar keterangan para saksi.
Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim, Lilik Sugiarto dan menghadirkan Mona Saroinsong selaku tergugat sekaligus mewakili YBT.
Sementara selaku penggugat, Aris Maripi yang juga hadir di ruang sidang, diwakili oleh kuasa hukumnya, IG Chakradeva AP, dan Benyamin Sunjaya.
Aris menyatakan, sebenarnya dirinya rela menerima Surat Keputusan PHK dari pihak YBT, asalkan memenuhi syarat sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 156 yang intinya menyatakan bahwa PHK dimungkinkan jika perusahaan/yayasan dalam hal ini Yayasan Bumi Tangguh Central Sulawesi Sigi District Resillience Project memberikan ganti rugi atau uang pesangon.
“Tapi kenyataannya sampai saat ini saya tidak dapat apa-apa dari YBT,” tandas Aris.
Menurut Aris, sebelum mengajukan kasus itu ke pengadilan, pihaknya telah menempuh prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yakni menjalani proses mediasi secara Bipartit oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) di Sulawesi Tengah dan juga telah melaporkan kasus PHK itu ke pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaketrans) Provinsi Sulawesi Tengah selaku pihak berwenang untuk melakukan mediasi tripartit.
Sebagai hasil mediasi tripartit, Disnaketrans Sulteng melalui Surat Nomor 566/2183/PHIWasnaker tanggal 6 Agustus 2020 yang ditandatangani Kepala Dinas Arnold Firdaus memberi anjuran kepada YBT untuk mempekerjakan kembali Aris Maripi atau kalau tidak, memberikan ganti rugi sesuai dengan tuntutan penggugat yakni sebesar Rp 54 juta (4,5 bulan sisa kontrak x Rp 12 juta/gaji per bulan).
Pihak manajemen YBT ternyata menolak untuk mempekerjakan kembali Aris Maripi, walau bersedia memberikan ganti rugi kepada penggugat dengan catatan uang ganti rugi atau pesangon itu diberikan per bulan selama 12 bulan, bukan diberikan sekaligus, dengan catatan Aris Maripi harus menandatangani surat pernyataan agar dia mencabut gugatan hukumnya kepada YBT dan meminta maaf secara terbuka.
“Saya menolak uang ganti rugi atau pesangon dibayar dengan cara dicicil, apalagi harus menandatangani surat pernyataan untuk mencabut gugatan hukum,” kata Aris Maripi.
Menurutnya, biarlah proses hukum di pengadilan terus berlanjut untuk membuktikan pihak mana yang benar dan mana yang salah, demi tegaknya keadilan.
“Semoga ke depan hal ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, khususnya lembaga-lembaga kemanusiaan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama,” pungkasnya.
Sementara itu secara terpisah Mona Saroinsong selaku Program Manager YBT yang ditemui di kantornya, Rabu (14/10/2020) membenarkan pemecatan Aris sebagai karyawannya.
Dia menjelaskan, YBT adalah yayasan bantuan kemanusiaan, bukan perusahaan, dan semua dananya itu merupakan sumbangan-sumbangan, bukan hasil keuntungan.
Jadi sebenarnya kata dia, pihak YBT tunduk kepada undang-undang yayasan, bukan undang-undang perburuhan.
Seluruh karyawan YBT, termasuk Aris itu bertandatangan dalam kontrak kerja, bahwa salah satu poinnya adalah ketika karyawan membuat kesalahan, bisa diputuskan tanpa diberikan pesangon.
“Kenapa dia (Aris) diberhentikan karena memang tidak sanggup mengerjakan pekerjaan dan sama sekali tidak bisa memimpin timnya,” katanya.
Dia mengatakan, saat sebulan Aris pertama bekerja di YBT anggota timnya sudah mulai mengeluh kepadanya.
Atas kondisi itu, Mona pun harus menegur Aris secara lisan hingga puluhan kali agar mau memperbaiki kinerjanya.
Namun karena atas dasar kemanusiaan, Mona pun mempertahankannya dan menjelaskan ke karyawan lainnya atau anggota timnya bahwa kalianlah yang harus mengerti dengan kondisi Aris.
Menurut Mona, Aris tidak mau mengakui kesalahannya dan bahkan paling parah adalah melakukan kesalahan di depan masyarakat.
“Kami punya notulen, punya bukti, punya apa semua,” katanya.
Jadi pada prinsipnya kata Mona, Aris diberhentikan karena tidak sanggup melakukan pekerjaannya dan ada kelakuan yang dilakukan di lapangan melanggar kode etik kemanusiaan.
“Kami kan tunduk kepada hukum-hukum internasional tentang kemanusiaan. Kami yang paling penting adalah perilaku, perilaku sesama pekerja, perilaku terhadap masyarakat,” katanya.
Soal pesangon Aris, Mona mengaku YBT siap untuk membayarnya, tetapi secara bertahap alias cicil.
“Kami tetap komitmen mau bayar, bukan tidak mau, tetapi cicil, dia (Aris) tidak mau,” tegas Mona Saroinsong. CAL