SultengTerkini.Com, JAKARTA– Kelapa sawit merupakan komoditas strategis nasional dengan tingkat urgensi yang tinggi bagi perekonomian domestik dan global. Data Kementerian Pertanian mencatat luas tutupan lahan sawit Indonesia pada 2019 mencapai 16,38 juta hektar dengan 41 persen dari total luas lahan tersebut dikuasai oleh rakyat (Perkebunan Rakyat/PR) baik swadaya maupun plasma.
Dengan lahan tersebut, Indonesia mampu memproduksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) rata-rata setiap tahun sebanyak 45 juta ton. Tidak hanya itu, lebih dari 65 persen dari kebutuhan minyak sawit dunia ditopang dari produksi CPO Indonesia.
“Dari tujuh komoditas strategis perkebunan strategis, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan nasional dalam mengembangkan dan menopang perekonomian nasional,” tutur Edi Wibowo, Pelaksana Tugas Direktur Kemitraan BPDPKS.
Hampir satu dekade, kelapa sawit telah menjelma menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar nasional, bahkan telah memberikan kontribusi tertinggi pada tahun 2017 dengan sumbangan devisa mencapai US$22,9 miliar atau sekitar Rp 320 triliun.
Dengan nilai tersebut diketahui bahwa lebih dari 10 persen APBN bersumber dari kelapa sawit. Tidak hanya itu, multifungsi dan zero waste kelapa sawit sebagai sumber pangan, produk-produk oleochemical, hingga energi terbarukan (biofuel) menjadikan kelapa sawit layak dipertimbangkan sebagai priority dan identity negara.
“Selama masa pandemi, kelapa sawit tetap jadi penyumbang devisa terbesar dengan sumbangan 13 miliar us dollar,” tambah Edi.
Namun, sejak beberapa tahun terakhir, kelapa sawit masih saja dituduh sebagai komoditas penuh mudharat dari aspek kesehatan, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Bahkan, di tengah masifnya pandemi Covid-19 di Indonesia, isu negatif terkait kebakaran hutan dan lahan yang sebelumnya pernah diangkat tahun 2013 silam, kembali ditayangkan sehingga berakibat timbulnya perspektif tanpa fakta empiris dari sejumlah kalangan.
“Tantang terbesar masih isu negatif yang menghantam dalam negeri, penyebab hilangnya hutan tropis, kebarakaran hutan, kesehatan dan lain sebagainya. Tentunya ini perlu dan penting diluruskan terus memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada masyarakat tentang fakta sebenarnya industri kelapa sawit,” tutur Edi.
Tidak hanya mendapatkan tekanan dari luar negeri, kelapa sawit juga diserang dari dalam negeri oleh LSM antisawit. Maraknya atribut negatif yang dilekatkan terhadap kelapa sawit tentu sebagai akibat dari isu-isu yang tidak berdasarkan fakta objektif.
Dampak dari penyebaran isu tersebut yakni munculnya persepsi negatif dari masyarakat, baik secara domestik maupun global.
Menurut Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Wartaekonomi menerangkan bahwa ada tiga hal yang membedakan dalam penyebarluasan informasi, yakni misinformasi, disinformasi dan malinformasi. “Misinformasi dan disinformasi merujuk pada kesalahan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan, sehingga menimbulkan komunikasi publik keliru yang tidak disengaja, sementara malinformasi, yakni bentuk informasi yang sengaja diberikan dengan memanipulasi data untuk menggiring opini publik pada kasus tertentu,” tegas M Ihsan.
Hal tersebut selama ini yang dilakukan berbagai lembaga yang tidak setuju dengan keberadaan dan kemajuan industri kelapa sawit dengan memberikan label “No Palm Oil”.
“Isu yang dibangun terhadap publik menjelaskan bagaimana tentang dampak negatif kelapa sawit lebih kepada isu politis atau perang dagang yang disusun Uni Eropa untuk mengurangi penggunaan kelapa sawit dengan menggunakan minyak nabati alternatif yang diproduksi di sana,” kata M Ihsan.
Selain itu, Pastor Felix Amias MSC, selaku tokoh masyarakat dan saksi hidup yang tinggal langsung di lingkungan kelapa sawit di daerah Merauke membeberkan kesaksian bagaimana kelapa sawit dapat tumbuh dan menghidupkan masyarakat sekitar. “Banyak perubahan baik yang dirasakan ketika industri pertama kali tumbuh di Merauke, khususnya ketika perusahaan industri kelapa sawit mulai berkembang di tanah papua. Dimulai dari sistem transportasi yang mulai terbentuk, tingkat sosialisasi warga papua dengan masyarakat Indonesia di berbagai wilayah dan pendidikan yang terbangun,” tutur Felix.
Banyak hal yang harus diluruskan ketika black campign menimpa Indonesia terkait industri kelapa sawit, khususnya ketika kasus kebakaran hutan mencuat. “Misinformasi dan ketidakpahaman masyarakat tentang kelapa sawit, yakni sekitar pemanfataan dana CSR untuk memberdayakan masyarakat dan fungsi aparatur negara dalam menjaga lingkungan sekitar untuk kelangsungan industry,” kata Felix.
Selama ini, tidak tepatnya narasumber yang diundang media, banyak menimbulkan mispresepsi di masyarakat, sehingga masyarakat kurang teredukasi dengan baik tentang hal tersebut.
“Narasumber yang dipilih untuk menjelaskan fakta yang terjadi dilapangan terkadang tidak memberikan data yang akurat dalam menyebarkan informasi, sehingga tidak membantu masyarakat dalam memperoleh informasi untuk mengembangkan pengetahuan seputar industri kelapa sawit,” tegas Felix.
Menyebarnya informasi negatif tentang sawit di platform media massa dan media sosial, menjadi benang merah yang perlu segera diputihkan.
Tak dapat dimungkiri, generasi milenial dan generasi Z sebagai penghuni dominan media sosial, masih terjebak dalam informasi fiktif yang dapat merusak citra industri perkebunan kelapa sawit nasional.
Dalam webinar Digitalk Sawit Seri Indonesia Timur, pada Selasa, 22 Desember 2020 bertujuan untuk mengedukasi generasi milenial dan generasi Z sebagai harapan bangsa harus dibekali kebenaran umum tentang kelapa sawit didasarkan atas fakta objektif, bukan isu atau kabar semata yang berseliweran tanpa data. */CAL