PALU– Korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 silam kembali menelan pil pahit. Para korban bencana yang menerima Hunian Tetap (huntap) di Kelurahan Petobo diberi rumah tak layak huni.
Koordinator Huntap Mandiri Petobo, Suharyadi mengatakan, rumah yang dibagikan kepada korban bencana memiliki banyak kekurangan. Parahnya, kontraktor pelaksana proyek tersebut telah meninggalkan pekerjaannya.
Dia menjelaskan, beberapa kerusakan yang terdapat di rumah tersebut diantaranya campuran semen yang tidak kuat, timbunan lantai tidak padat, cor lantai tidak kuat.
Selain itu, belum selesainya pengerjaan WC, bio septic tank tidak turun ke permukaan tanah, serta pembangunan resapan air yang tak rampung.
“Resapan air seharusnya dua, tapi yang ada cuma satu,” jelas Suharyadi saat ditemui jurnalis di lokasi huntap.
Suharyadi menuturkan, dari tahap pembangunan pertama sebanyak 93 unit, baru selesai 32 unit. Sisanya belum dikerjakan sama sekali, padahal awal mula kontrak tahap pertama harus selesai 93 unit. Disinilah dia menemukan beberapa kejanggalan pembangunan.
“Kalau saya tidak tinjau, pasti pengerjaannya asal-asalan. Baru 32 unit saja temuannya sudah banyak,” keluh Suharyadi.
Dia mengatakan, awal mula pendataan, warga yang ingin minta bantuan huntap mandiri sebanyak 316 unit. Namun sekira 100 warga mengundurkan diri karena lambatnya pembangunan huntap.
Dalam keterangannya, awal mula kontrak tahap pertama yaitu kontrak huntap 1B pembangunan 90 unit harus selesai dalam empat bulan.
Sayangnya, lebih dari setahun pihak ketiga yang bertanggung jawab atas pembangunan ini hanya menyelesaikan 32 unit.
“Itupun tidak sempurna alias banyak temuan,” katanya kesal.
Suharyadi hingga kini belum memperoleh informasi mengenai kontraktor pelaksana pembangunan huntap tersebut.
Namun pembangunan hunian ini berada di bawah pengawasan Kementerian PUPR dan PT Waskita Karya.
“Seharusnya yang bertanggung jawab adalah pihak ketiga karena PT Waskita Karya telah menyerahkan pengerjaan ini ke pihak ketiga. Sangat disayangkan mereka meninggalkan pekerjaan yang belum selesai,” ungkapnya.
Dirinya juga mengatakan, bahwa dia bersama warga telah berulang kali menghubungi pihak kontraktor namun aspirasinya dikatakan seolah-olah menghambat pekerjaan mereka.
“Salah satu yang kami tuntut justru nilai kontrak awal pembangunan huntap ini, sehingga kami bisa mengira-ngira apakah pekerjaan mereka sesuai anggaran yang telah ditetapkan,” tambahnya.
Namun pihak kontraktor maupun fasilitator enggan memberikan keterangan nilai kontrak kepada warga. Dia bersama Lurah Petobo juga telah menyurat beberapa kali ke Satker SNVT namun belum ada jawaban.
Salah satu warga yang menjadi korban pengerjaan amburadul ini ialah Ridwan. Dia membenarkan bahwa rumah miliknya banyak kekurangan dan jauh dari standar.
“Iya betul, huntap saya sempat ada temuan, namun sekarang sudah diperbaiki oleh PT Waskita dan sudah rampung pengerjaannya,” ucap Ridwan.
Secara terpisah, Lurah Petobo Alfin, membenarkan adanya temuan tersebut.
Sebagai perpanjangan tangan Walikota di Kelurahan Petobo, Alfin mengaku tak pernah mengetahui pihak pelaksana pembangunan huntap itu karena selama pembangunan, pihak kontraktor tidak memasang papan proyek berisi identitas perusahaannya.
“Itu yang 90 unit tahap pertama termasuk nama saya, bahkan nama saya paling pertama tapi belum dikerjakan. Saya belakangan dengan Pak Suharyadi tidak masalah yang penting huntapnya warga dulu yang harus dibangun,” ucapnya.
“Dari awal kita mau penyelenggara untuk transparan kepada masyarakat agar masyarakat tahu pembangunan huntap apakah sesuai prosedur atau tidak,” ungkapnya.
Alfin menyebut, 32 unit hunian yang bermasalah itu telah ditinggalkan kontraktor sejak akhir tahun 2021. Saat ini PT Waskita Karya bertanggung jawab atas temuan-temuan tersebut. “Setahu saya dulu ada beberapa yang lari karena pembangunan belum selesai, sekarang PT Waskita yang menyelesaikan kekurangannya, padahal seharusnya pihak ketiga,” ucapnya. ZEN
Komentar