SultengTerkini.Com, PASANGKAYU– Melalui Tim Advokasi Petani untuk Kedaulatan Hak Atas Tanah (TAP-Tanah), Hemsi mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Pasangkayu, Sulawesi Barat, Senin (28/1/2019).
Dalam eksepsinya, Kuasa Hukum Hemsi mengatakan, surat dakwaan JPU yang menguraikan bahwa terdakwa Hemsi bersama-sama secara bersekutu dengan tiga orang yang belum dapat dipastikan identitasnya, tidak tepat untuk dijadikan dasar dalam dakwaan primair, pasal 363 ayat (1) ke-4 KUH Pidana.
TAP Tanah menguraikan, pencurian yang disertai dengan “unsur-unsur yang memberatkan” atau dalam doktrin hukum pidana juga sering disebut sebagai ”strafverzwarevde omstandigheden” atau “aggravating circumstances”. Dan tindak pidana pencurian “dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih”.
Namun, didakwaan JPU hanya disebutkan “bersama-sama secara bersekutu dengan tiga orang yang belum dapat dipastikan identitasnya”.
Ketiga orang yang belum dapat dipastikan identitasnya tersebut tentunya menjadi sesuatu yang obscure. Sebab, pengakuan terdakwa adalah dia memetik sawit seorang diri di kebun sendiri, urainya.
Surat Kejaksaan Agung RI yang yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia, Nomor; B-182/E.3/EP/3/2003) dijelaskan bahwa, uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa.
Dengan menempatkan kata “cermat” paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang menghendaki agar JPU dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap korek dan teliti”.
Selain itu, Tim Hukum Hemsi sedang mengajukan upaya gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap PT Mamuang yang terdaftar dengan Nomor Register Perkara 24/Pdt.G/2018/7PN.DGL tanggal 21 November 2018 di Pengadilan Negeri Donggala.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 (“Perma 1/1956”). dalam pasal 1 Perma 1/1956 tersebut dinyatakan, “Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu”.
Sawit yang dipanen oleh Hemsi alias Frans diyakini sebagai miliknya, lokasinya di luar dari lokasi Hak Guna Usaha (HGU Nomor 1) PT Mamuang, yang berlokasi di wilayah Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.
Sementara kebun Hemsi alias Frans berada di Desa Panca Mukti, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Hal ini dapat dibuktikan dengan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa Panca Mukti (Lalundu V) dan Surat Penyerahan Hak Penguasaan Tanah (SP) yang disahkan oleh Pemerintah Kecamatan Rio Pakava.
Sebagai warga negara yang baik, terdakwa aktif membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan pasal 77 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melalui Badan Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten Donggala, dibuktikan dengan SPPT PBB atas nama Hemsi alias Frans.
Hemsi alias Frans, salah satu warga Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, yang hari ini terus berjuang demi tanahnya diduga melakukan tindak pidana pencurian di atas kebun kelapa sawitnya sendiri.
Saat ini, Hemsi alias Frans sedang disidang perkaranya di Pengadilan Negeri Pasangkayu.
Oleh karena itu TAP Tanah menyatakan bahwa, surat dakwaan Obscuur Libel (dakwaan kabur), tIndak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata yang harus diselesaikan secara perdata (Pre Judicieele Geschil) dan Pengadilan Negeri yang mengadiii tidak berwenang mengadili perkara Hemsi alias Frans.
Secara terpisah, Anggota DPRD Sulteng, Muhammad Masykur kepada SultengTerkini.Com, Selasa (29/1/2019) malam mendukung sepenuhnya upaya hukum yang dilakukan oleh Hemsi demi memperoleh rasa keadilan melalui pintu pengadilan.
Masykur berharap melalui pintu pengadilan, majelis hakim dapat mengedepankan hati nurani dan keyakinan yang dimiliki dalam mendudukkan kasus tersebut secara obyektif.
“Agar tidak lagi kita disuguhi praktik penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Dengan menjadikan petani selalu dalam posisi terhukum. Sementara pemodal asyik melenggangkangkung,” kata Masykur. CAL
Komentar