Edmond: Pemprov Sulteng Harus Hitung Ulang Pajak Air Permukaan!

-Utama-
oleh

PALU– Presiden telah meresmikan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Peaker 515 MW di Sulawesi Tengah (Sulteng) milik Poso Energy pada Jumat (25/2/2022).

“Dibalik mega proyek itu sejak awal sudah mengakibatkan banyak masalah ditingkat lokal, mulai ganti lahan untuk tower dan jaringan,” kata Edmond Leonardo Siahaan, Anggota Individu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng kepada jurnalis media ini, Sabtu (26/2/2022).

Dia mengatakan, Masyarakat Adat Danau Poso (MADP) mencatat 266 hektare sawah dan kebun serta wilayah pengembalaan warga terendam.

Dampak lainnya kata dia, adalah sistem penangkapan Ikan dan Sidat yang ramah lingkungan yang disebut Wayamasapi.

Ada juga menombak ikan saat malam hari dengan menggunakan lampu dan tombak yang disebut Toponyilo, juga tradisi menangkap ikan saat air surut yang disebut Mosango.

Belum lagi kata dia, masalah pengerukan danau, jembatan Pamona, perusakan Wayamasapi milik warga.

“Saya kira semua masalah sosial yang terjadi saat ini tidak sebanding dengan pendapatan yang didapatkan pemerintah daerah,” katanya.

Dia menyebutkan, dari data di Dinas Pendapatan Sulteng, kontribusi Poso Energy lewat pajak air permukaan hanya Rp 9 miliar untuk tahun 2020 dengan kapasitas 515 MW.

“Pemerintah Kabupaten Poso sendiri dikabarkan hanya mendapatkan pajak air permukaan dari Bukaka atau Poso Energy hanya Rp 9,5 miliar tahun 2020,” ujar Edmond.

Nilai Penghitungan Air (NPA) kata dia adalah Rp 100 per-kwh. Karena ketentuan tarif hanya 10 persen, maka per-kwh nilainya Rp 10.

Berdasarkan tarif itu pada tahun 2020 lalu PT Poso Energy membayar pajak air permukaan sebesar Rp 9,5 miliar lebih.

Sementara bila dibandingkan dengan PT Vale lewat tiga PLTA nya dengan kapasitas hanya 315 MW, bayar pajak air US$ 5 juta untuk tahun 2015.

Sementara IMIP lebih rendah lagi pajaknya, hanya membayar puluhan juta saja untuk tahun 2020.

“Perlu saya tegaskan kembali, bahwa dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, Pasal 2 jenis Pajak Provinsi terdiri atas Pajak Air Permukaan (Ayat 4). Dalam Pasal 1 point 17 disebutkan Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemantaan air permukaan,” ujar Edmond yang juga berprofesi sebagai advokat itu.

Oleh karena itu, dia mendesak pertama, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng harus tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dalam operasionalnya menggunakan air permukaan.

Bahkan kata dia, sangat rakus air tapi pajak yang dibayarkan tidak seberapa atau malah tidak patuh membayar pajak air permukaan.

Edmond menuturkan, pemerintah harus memeriksa kembali semua smelter-smelter nikel yang telah beroperasi dan menggunakan air permukaan.

“Apakah mereka sudah benar dalam pembayaran pajak air permukaan?. Apakah patuh dalam pembayaran pajaknya?. Apakah angka yang dibayarkan dengan penggunaan air permukaan sudah sesuai?,” tutur Edmond mempertanyakan.

Kedua, Pemprov Sulteng termasuk harus tegas kepada perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi yang ada di Sulteng, seperti PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas di Banggai.

“Periksa kembali kepatuhan mereka terhadap pembayaran pajak air permukaan, ujar mantan Koordinator KontraS Sulawesi itu.

Ketiga, Pemprov Sulteng sudah harus menghitung ulang besaran pajak yang ada saat ini, jangan sampai pemerintah dirugikan.

Menurutnya, harus ada perubahan Perda atau Pergub tentang pajak air permukaan yang terkini dengan menggunakan angka terkini, belajar dari pendapatan yang didapatkan Pemprov Sulsel dari PT Vale.

Keempat kata dia, Pemprov Sulteng harus segera menyelesaikan masalah yang terjadi saat ini, seperti tenggelamnya persawahan dan lahan penggembalaan ternak milik masyarakat.

“Harus ada penyelesaian untuk jangka panjang agar masyarakat tidak dirugikan berkali-kali,” tegas Edmond. CAL

Komentar