SUDAH lebih dari tiga bulan para pengungsi di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu di Sulawesi Tengah (Sulteng) ini masih memilih bertahan hidup di tenda pengungsian pasca gempa, likuefaksi dan tsunami melanda Kota Palu dan daerah di sekitarnya pada 28 September 2018.
Apa yang membuat para pengungsi ini tetap bertahan di tenda? Bagaimana pula kehidupan mereka sehari-hari selama tinggal di tenda pengungsi? Berikut laporannya…
LAPORAN: APRISAL
Ahad (20/1/2019) sore itu sekira pukul 17.00 Wita langit di lokasi pengungsian di Balaroa atas, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah mulai gelap.
Di tengah-tengah tenda sekumpulan ibu-ibu tampak duduk ditemani para bocah kecilnya.
Mereka yang tempatnya tinggalnya ditelan likuefaksi di Balaroa ini terlihat ramah saat ditemui jurnalis media ini.
Dian (45), seorang ibu rumah tangga asal Balaroa mengaku hidup sulit dan serba pas-pasan tinggal di tenda pengungsian.
Meski begitu ia tetap memilih hidup di tenda ketimbang harus tinggal di dalam bilik hunian sementara (huntara) yang dibangun pemerintah setempat dan dari pihak swasta lainnya.
Hal itu lantaran rencana pembangunan huntara di sekitar Balaroa tidak jelas realisasinya hingga saat ini.
“Kami menolak relokasi jauh dari Balaroa. Disini saja lebih baik karena sudah menjadi tempat penghidupan,” kata Dian yang diamini sejumlah ibu-ibu pengungsi lainnya.
Oleh karenanya Dian yang kini tinggal di tenda bersama suami dan dua orang anaknya menolak rencana pemerintah membangun huntara.
Ia meminta agar dana huntara sebaiknya dialokasikan ke pengungsi sebagai modal usaha.
Kepada SultengTerkini.Com, Dian menceritakan sedikit pengalaman yang terjadi saat bencana besar itu tiba. Saat itu kata Dian, ia bersama suaminya sedang berada di Pantai Talise. Sementara dua orang anaknya sedang berada di rumahnya Jalan Tulip I Balaroa.
Beruntung mereka semua selamat meski kedua anaknya sempat hilang dan akhirnya berhasil ditemukan tiga hari kemudian. Dian kini mengganggur dan tidak lagi memiliki pekerjaan. Padahal sebelumnya ia bekerja di sebuah perusahaan katering makanan.
“(Sekarang) Sudah tidak kerja karena tidak ada modal. Makanya dana huntara itu kalau bisa dipakai buat modal usaha,” katanya.
Ilan (32), seorang ibu rumah tangga lainnya yang juga pengungsi di Balaroa juga mengalami hidup pahit di tenda pengungsian.
Betapa tidak, saat hujan, ia bersama keluarganya sulit tidur dan harus waspada bila hujannya berlangsung lama.
Terlebih saat matahari mulai memancarkan sinarnya ke tenda-tenda pengungsian, tentunya makin membuat pengungsi gelisah tak karuan.
Bila panas matahari, sebagian besar pengungsi keluar dari tenda karena tidak tahan tidur atau berada di dalam tenda.
“Tidak ada yang tahan di dalam tenda kalau panas matahari, biar ritsleting tenda dibuka lebar-lebar tetap panas menyengat,” katanya sembari menambahkan bahwa pernah beberapa kali terjadi angin kencang dan membuat tenda di lokasi nyaris terbongkar.
Ilan yang mengaku dulunya tinggal di Jalan Seruni Raya Balaroa itu saat ini tidak memiliki lagi pekerjaan setelah rumahnya yang menjadi tempat usaha jasa pencucian dan setrika pakaian ditelan oleh likuefaksi saat gempa lalu.
Tiap sore dirinya bersama ibu-ibu lainnya hanya duduk-duduk melihat pemandangan Kota Palu dari ketinggian.
Bila waktu makan tiba, ia kadang memasak di tenda, kadang pula memasak bersama pengungsi lainnya di dapur umum.
Selain menolak huntara, kedua ibu rumah tangga itu juga meminta pemerintah segera mempercepat pembangunan hunian tetap (huntap).
Keduanya juga mengaku sudah lebih sebulan ini tidak lagi mendapatkan bantuan logistik dari pemerintah maupun pihak lainnya.
Selain huntara dan logistik, ibu-ibu di pengungsian juga mengeluhkan masalah keamanan yang tidak sedikit dari mereka yang kehilangan barang berharga, utamanya telepon genggam dan uang pasca ditinggalkan aparat TNI.
Saya pun terpaksa menghentikan wawancara setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul 17.45 Wita pertanda waktu Magrib segera tiba.
Para ibu-ibu di pengungsian itu hanya berharap dana stimulan dan huntap secepatnya direalisasikan oleh pemerintah meski mereka tetap tegas menolak huntara.
DEMO MENOLAK HUNTARA
Selain Dian dan Ilan, ada pula Monalisa (32), ibu rumah tangga pengungsi di Balaroa yang juga menolak pembangunan huntara.
Penolakan Monalisa bersama ribuan warga pengungsi Balaroa lainnya itu ditunjukkan dengan berunjukrasa di depan kantor DPRD Kota Palu, DPRD Sulteng, dan kantor Walikota Palu belum lama ini.
Ia menolak huntara karena tidak bermanfaat ketimbang huntap. Menurutnya, dana pembangunan huntara yang disinyalirnya sebesar Rp 40 juta per bilik itu lebih baik dipakai untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
“Saya minta percepatan huntap dan dana huntara dialokasikan kepada kami pengungsi buat modal usaha,” katanya.
Monalisa satu dari sekian banyak pengungsi di Balaroa yang kehilangan keluarganya seperti ayah, suami, dan anak kandungnya dua orang masing-masing berusia tujuh dan tiga tahun.
Saat gempa terjadi dirinya sedang berada di rumah tantenya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Dirinya saat ini hidup sebatang kara sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari.
Hal yang sama juga dialami oleh Kevin (18), pengungsi Balaroa ini juga menolak huntara dan direlokasi ke tempat lain.
“Saya tidak mau dipindahkan ke lokasi lain karena saya sudah senang di Balaroa,” katanya.
Kevin juga bercerita saat gempa terjadi, dimana ia saat itu sedang berada di depan masjid Balaroa bermain bersama rekan-rekannya.
Sementara kedua orang tuanya dan adik kandungnya berada dalam rumahnya di Balaroa dan musibah itu mengakibatkan mereka meninggal dunia akibat tertelan likuefaksi.
“Hanya (jasad) ibu saja yang ditemukan, sementara lainnya tidak ditemukan,” kata Kevin yang ditemui saat berunjukrasa di depan gedung DPRD Sulteng Jalan Sam Ratulangi.
Begitu gempa terjadi, ia tidak sempat lagi ke rumahnya karena tanah dilihatnya bergerak dan terangkat. “Bangunkan huntap saja, tidak usah huntara,” begitu kata Kevin.
Ribuan warga pengungsi mengatasnamakan Forum Korban Likuifaksi Balaroa demonstrasi ke gedung DPRD Kota Palu, DPRD Sulteng dan Walikota Palu, Senin (14/1/2019).
Ada enam tuntutan pendemo yakni menolak direlokasi ke wilayah lain, menolak pembangunan huntara dan segera dibangunkan huntap.
Selain itu, massa juga menuntut anggaran huntara segera dikompensasi untuk korban likuefaksi Balaroa, hak-hak keperdataan warga harus jelas ganti ruginya, pendistribusian logistik atau bahan kebutuhan pokok untuk pengungsi Balaroa berbasis data valid dan santunan bagi korban harus segera direalisasikan.
“Sampai sekarang, huntara bagi pengungsi Balaroa, belum ada kejelasan dari pemerintah. Begitupun untuk huntap,” kata Ketua Forum Korban Balaroa, Abdurahman M Kasim di sela-sela aksi, Senin.
Rahman yang pengacara kondang ini juga menambahkan, jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi, maka para pengungsi Balaroa, akan menuntut pemerintah terkait dan akan demo kembali berkali-lipat setiap saat.
LANGKAH STRATEGIS PEMERINTAH
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sulteng terus melakukan langkah-langkah strategis agar percepatan pemulihan dampak bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong segera pulih kembali.
Sehubungan hal tersebut, Gubernur Sulteng Longki Djanggola dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI Letjen Doni Monardo memimpin rapat evaluasi pelaksanaan kegiatan pemulihan dampak bencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi didampingi Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulteng Mohamad Hidayat Lamakarate, dan Kepala BMKG Pusat Dwikorita Karnawati di Ruang Polibu, Kamis (17/1/2019).
Pada kesempatan itu, Gubernur Longki Djanggola menyampaikan untuk percepatan hunian tetap, pihaknya telah menetapkan Surat Keputusan (SK) tentang penetapan lokasi tanah relokasi pemulihan akibat bencana di Sulteng atas usulan dari pemerintah setempat.
Untuk Kota Palu seluas 560,93 hektare yang meliputi Kecamatan Tatanga seluas 79,3 hektare terletak di Kelurahan Duyu, Kecamatan Mantikulore seluas 481,63 hektare di Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise.
Sedangkan Kabupaten Sigi terletak di Kecamatan Sigi Biromaru meliputi Desa Pombewe seluas 201,12 hektare dan Desa Oloboju 160,88 hektare.
Lokasi tersebut sudah memenuhi syarat karena telah dilakukan kajian melalui kementerian teknis dan JICA (Badan Kerjasama Internasional Jepang).
Menanggapi aspirasi masyarakat Balaroa dan Petobo agar direlokasi dekat pemukiman sebelumnya, Gubernur mengungkapkan bahwa pihaknya belum dapat menetapkan lokasi tersebut untuk dijadikan lokasi hunian tetap, karena belum diteliti oleh kementerian teknis, sehingga diharapkan Pemerintah Kota Palu dapat mengusulkan kembali tambahan lokasi relokasi guna menjawab permintaan masyarakat.
“Kami masih menunggu usulan untuk diteruskan ke pemerintah pusat melalui Bappenas yang akan mengkoordinir dengan kementerian teknis terkait,” tuturnya.
Gubernur menuturkan, Pemerintah Provinsi Sulteng bersama pemerintah kabupaten/kota yang terdampak bencana telah menyusun rencana aksi untuk dijadikan master plan perubahan tata ruang Sulteng.
Sementara itu, Sekretaris Provinsi Sulawesi Tengah Mohamad Hidayat Lamakarate selaku Ketua Percepatan Pemulihan Dampak Bencana Sulteng dan Ketua Pusdatina Sulteng melaporkan, sesuai data Pusdatina Sulteng per tanggal 7 Januari 2019 dan SK Gubernur Sulteng Nomor 360/006/BPBD-G.ST/2019 bersumber dari kabupaten/kota dan NGO, bahwa korban meninggal dunia akibat bencana yang telah dimakamkan oleh pihak keluarga sesuai by name by adress berjumlah 2.657 jiwa.
Sementara korban meninggal dunia tidak teridentifikasi berjumlah 1.016 jiwa yang dikuburkan secara massal di dua tempat yakni di Pantoloan sejumlah 35 jiwa dan pemakaman umum di Poboya sebanyak 981 jiwa, sehingga total meninggal dunia mencapai 3.673 orang.
Adapun korban yang dinyatakan hilang oleh keluarga berjumlah 667 jiwa, sehingga jumlah total keseluruhan korban yang dinyatakan meninggal dan hilang adalah 4.340 jiwa.
Selanjutnya Sekprov menyampaikan pengungsi yang terdampak di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong tersebar pada 400 titik pengungsian, dengan jumlah 53.182 Kepala Keluarga (KK).
Jika disimpulkan secara jiwa, maka jumlah keseluruhan sebanyak 172.635 jiwa. Sedangkan kondisi rumah masyarakat, menurutnya terdapat 40.085 rusak ringan, 26.122 rusak sedang, 29.771 rusak berat, 4.050 rumah yang dinyatakan hilang akibat gempa bumi, tsunami dan likuefaksi.
Selain itu, Hidayat Lamakarate menjelaskan, berdasarkan combine data bencana kabupaten/kota kebutuhan hunian sementara (huntara) untuk Palu, Sigi, dan Donggala sebanyak 1.711 unit atau 20.610 bilik.
Dari laporan Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong berdasarkan konfirmasi terakhir, bahwa masyarakat disana tidak membutuhkan huntara.
Namun yang mereka butuhkan adalah dana stimulan sesuai jumlah kondisi rumah yang rusak sebanyak 5.550 unit.
Mengahiri rapat tersebut, Kepala BNPB RI Letjen Doni Monardo menyampaikan sesuai SK Gubernur Sulteng Nomor 368/012/BPBD perihal permohonan bantuan tanggal 8 Januari 2019, pihaknya akan merealisasikan. ***
Komentar