Sulteng Tertinggi Ketiga Perkawinan Anak di Indonesia

KEPALA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Tengah, Siti Norma Mardjanu membacakan isi Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di halaman kantor Gubernur Sulteng, Jumat (15/12/2017) pagi. FOTO: ICHAL

SultengTerkini.Com, PALU– Berdasarkan data UNICEF, Indonesia sendiri menempati urutan ke 7 tertinggi di dunia dan urutan ke 2 tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.  BPS dan UNICEF juga mencatat indikasi perkawinan anak di Indonesia hampir terjadi di semua wilayah. Pada laporan tersebut, angka perkawinan usia anak di bawah 18 tahun mencapai 23 persen. Salah satunya terjadi di Sulawesi Tengah.

“Ya, Sulteng masuk ke dalam posisi 10 besar dan menempati urutan ketiga peringkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia,” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulteng, Siti Norma Mardjanu dalam acara Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di halaman kantor Gubernur Sulteng, Jumat (15/12/2017) pagi.

Berdasarkan penelitian BKKBN tahun 2015, perkawinan anak di Sulteng sudah mencapai 31,91 persen.

Melalui data Susenas 2015, rata-rata anak berusia 15-19 tahun berstatus kawin dan pernah kawin di Sulteng.

Presentase terbesar terdapat di Kabupaten Banggai Laut sebesar 15,83 persen, diikuti Kabupaten Banggai Kepulauan sebesar 15,73 persen, Kabupaten Sigi sebesar 13,77 persen, Kabupaten Tojo Una-Una sebesar 12,84 persen, dan Kota Palu sebesar 6,90 persen.

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2016, yang tertinggi adalah Kabupaten Tojo Unauna sebesar 23 persen dan Parigi Moutong sebesar 22 persen.

Sementara itu, presentase anak berumur 15-19 tahun di Sulteng yang kawin dan pernah kawin jauh lebih tinggi di pedesaan dibanding perkotaan.

Pada daerah pedesaan persentase anak kawin dan pernah kawin mencapai 7,99 persen, sedangkan pada perkotaan sebesar 3,09 persen.

“Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya,” ujar Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Deputi Bidang Tumbuh Kembang KPPPA, Rohika Kuniadi Sari menambahkan.

Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak juga dihadiri Staf Ahli Gubernur Sulteng Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, Rusdi Bachtiar Rioeh mewakili Gubernur Longki Djanggola.

Rohika Kuniadi Sari mengatakan, kegiatan itu diinisiasi dan dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA) bekerjasama dengan 13 kementerian/lembaga dan lebih dari 30 organisasi/lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan anak dan perempuan.

Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak ini diluncurkan pertama kali oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembesi pada 3 November 2017 di Jakarta sebagaimana diamanahkan Pasal 72 UU 35/2014.

Sementara itu, Staf Ahli Gubernur Sulteng, Rusdi Bachtiar Rioeh dalam sambutannya mengakui kecenderungan anak menikah muda di wilayah pedesaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor.

Tetapi menurutnya, faktor pergaulan bebas dan lemahnya kontrol keluarga atau peran orangtua menjadi faktor yang paling dominan, sehingga pergaulan usia anak di Sulteng berujung ke pelaminan.

“Faktor lain seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan budaya menikah muda turut serta meningkatkan angka perkawinan anak di Sulteng,” kata Rusdi.

Sebelumnya kegiatan serupa juga telah berlangsung di sejumlah provinsi yaitu Jawa Barat (18 November 2017), Jawa Tengah (20 November 2017), Jawa Timur (26 November 2017), Sulawesi Selatan (2 Desember 2017), Nusa Tenggara Barat (10 Desember 2017), dilanjutkan Kalimantan Selatan (13 Desember 2017). CAL

Komentar