PALU– Tahun 2008 adalah masa keemasan Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore Kota Palu. Sekitar 10.000 orang berbondong-bondong ke kelurahan itu. Tujuannya, menambang emas. Kebanyakan dari mereka adalah warga Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.
Informasi yang didapat wartawan, jauh sebelum tahun 2008, warga Kelurahan Poboya sudah terbiasa mengais rezeki dengan mencari emas.
Namun, cara yang digunakan masyarakat setempat masih sangat tradisional yakni mendulang emas di aliran sungai.
Masyarakat menggunakan sebuah alat bernama Dulang, yakni sebuah piringan cekung berwarna hitam dari fiber atau kayu yang dibuat di pengrajin kayu.
Pasir sungai di sekop kemudian diletakkan ke dalam Dulang. Selanjutnya, pasir itu digoyang-goyang sambil dialiri air sungai sehingga yang tersisa hanya material yang mengandung emas.
Lambat laun, aktivitas mencari emas ini semakin massif. Terlebih, kehadiran warga dari Sulawesi Utara memberi berkah bagi masyarakat setempat.
Dari berbagai sumber yang diperoleh, terungkap cerita bagaimana jalinan kerjasama antara para penambang dengan para pihak yang menglaim sebagai pemilik lahan, hingga akhirnya kegiatan tak berizin ini menjadi langgeng hingga sekarang.
Warga Sulawesi Utara yang sebelumnya lebih familiar dengan usaha menambang emas kemudian memberi tahu masyarakat setempat ‘cara mencari emas’ yang lebih efektif. Maka terjadilah kerjasama antarwarga setempat dan warga Sulawesi Utara. Sebut saja kongsi.
Warga Poboya meminjamkan lahannya untuk digali, sementara warga Sulawesi Utara mengambil material dalam tanah berupa bebatuan yang mengandung emas.
Selanjutnya, bongkahan batu material itu dihaluskan lalu digiling menggunakan tromol. Hasil olahan tromol kemudian diberi air raksa atau mercury sehingga terpisah antara pasir dan emas.
Kerjasama ini membuahkan hasil gemilang. Masyarakat setempat yang sebelumnya lebih dominan bertani dan beternak, kini menjadi penambang. Ekonomi mereka meningkat pesat.
Sebagian besar masyarakat Poboya bisa membangun rumah yang lebih layak, membeli kendaraan bermotor serta menyekolahkan anak-anak mereka.
“Dulu kami badulang. Sekarang sudah masuk lubang,” ujar Ivan (37), warga Poboya, 28 September 2024.
JADI POLEMIK
Aktivitas penambangan emas di Kelurahan Poboya menjadi polemik. Sebab, lahan mencari emas sebagian besar masuk dalam lahan konsesi milik PT Citra Palu Minerals (CPM).
Aparat kepolisian dari Polres Palu melakukan penertiban. Sebab, keberadaan tambang memicu terjadinya konflik.
Polisi dan beberapa kesaksian mengungkap banyaknya penjualan minuman keras, perjudian bahkan pecah kongsi menimbulkan terjadinya tindak kriminal di kelurahan tersebut.
Belum lagi, aktivitas mencari batuan emas dalam tanah juga sering menimbulkan korban jiwa. Tak sedikit nyawa penambang melayang karena tertimbun longsor.
Lubang-lubang yang digali makin hari makin dalam. Kedalaman lubang paling dangkal adalah 30 meter.
“Orang yang tertimbun memang ada, tapi saya tidak tahu orang dari mana,” kata Papa Susi, warga Poboya belum lama ini.
Medio Agustus 2022, satu orang penambang tewas tertimbun longsor.
“Satu korban tewas dan dua penambang mengalami luka-luka,” kata Kapolres Palu, Kombes Pol Barliansyah ketika itu.
Penertiban yang dilakukan polisi memaksa orang-orang yang tidak memiliki identitas keluar dari lokasi tambang.
BOM WAKTU
Jumlah penambang yang ada di Poboya kini tak lagi 10.000 orang. Hingga akhir September 2024, penambang yang masih beraktivitas hanya ratusan orang.
Meski begitu, keberadaan para penambang ilegal ini bisa menjadi bom waktu bagi masyarakat Kota Palu.
Penggunaan bahan kimia secara massif bisa berdampak pada kerusakan lingkungan. Bahkan saat ini, zat kimia yang digunakan penambang bukan hanya mercury. Sebagian penambang juga menggunakan sianida untuk mengolah material emas.
Belum lagi, penduduk setempat masih aktif bercocok tanam padi, jagung, cabai dan bawang merah. Sementara air yang digunakan para petani diambil dari air sungai yang di hulunya terdapat aktivitas penambangan emas ilegal.
Dikhawatirkan, hasil pertanian warga Poboya telah mengandung racun sianida atau mercury.
Tak hanya itu, aktivitas penambangan ilegal juga merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya.
Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso mencatat hingga tahun 2022 dari total 7.661.94 hektare luas DAS Poboya, lahan berstatus sangat kritis mencapai 406.10 hektare dan 70.90 hektare statusnya kritis.
Selain itu terdapat lahan dengan status agak kritis seluas 6.267.42 hektare dan yang berpotensi kritis 423.35 hektare. Hanya 444.17 hektare lahan di kawasan itu yang tercatat masih baik alias tidak kritis.
Penelitian tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Muh Rahmat Fadillah, Isrun, dan Sri Wahidah Prahastuti yang dipublikasikan Agustus 2023 menemukan paparan bahan kimia pada tanah Poboya, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu.
Di dalam tanah sekitar area pengolahan emas di Lagarutu, Kelurahan Poboya, tiga mahasiswa itu menemukan kandungan bahan kimia jenis merkuri berkisar 0,0068-0,0305 ppm.
Aktivis peduli lingkungan seperti Jatam dan Walhi sudah seringkali mengecam keberadaan penambangan ilegal ini.
Pertanyaannya, sampai kapan bom waktu ini dibiarkan? Apakah ditunggu meledak lalu ditindaklanjuti?. GUS/*
*Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis*
Komentar