PALU- Kegiatan ilegal berupa pertambangan emas tanpa izin (PETI), oleh beberapa pihak di Sulawesi Tengah (Sulteng), dianggap sebagai persoalan kompleks yang berbuntut masalah pada berbagai aspek.
PETI dinilai tidak hanya berpotensi merugikan negara, mengancam nyawa, atau merusak lingkungan, melainkan juga berdampak buruk pada kesehatan masyarakat yang tinggal di area tambang.
Dampak kesehatan ini ditimbulkan karena adanya penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pengolahan material, sebelum menjadi emas murni di kawasan PETI.
Merujuk hasil penelitian tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Muh Rahmat Fadillah, Isrun dan Sri Wahidah Prahastuti yang dipublikasikan Agustus 2023, menemukan paparan bahan kimia pada tanah Poboya, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu.
Di dalam tanah sekitar area pengolahan emas di Lagarutu, Kelurahan Poboya, tiga mahasiswa ini menemukan kandungan bahan kimia jenis merkuri berkisar 0,0068-0,0305 ppm.
Beberapa hektar wilayah Poboya merupakan area kontrak karya pertambangan emas PT Citra Palu Minerals (CPM). Wartawan mendapatkan informasi bahwa di beberapa titik lahan konsesi ini, juga berlangsung aktivitas PETI yang dilakukan oknum di luar CPM.
Kepolisian Resort Kota (Polresta) Palu mencatat, ada ratusan warga yang bekerja sebagai penambang liar di sana.
Terkait fakta ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu menyatakan, bahwa pada level tertentu, bahan kimia memang dibutuhkan sebagai media saat kegiatan atau proses pertambangan.
“Saat proses pemisahan (emas dari material lainnya) memang ada proses-proses kimia yang dilakukan. Hanya saja apakah penggunaan dan metodenya sesuai prosedur dan aturan atau tidak,” kata Sekretaris DLH Kota Palu, Ibnu Mundzir, Senin (16/09/2024).
Kata dia, pengawasan terkait hal ini berada pada kewenangan pemerintah provinsi. Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, menurutnya, bisa terlibat ketika aktivitas pertambangan telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
“Contohnya saat terjadi banjir hingga ke badan jalan di area pertambangan Kelurahan Watusampu yang berakibat pada terganggunya arus lalu lintas,” jelasnya.
Masih di hari yang sama, Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, DLH Provinsi Sulteng, Moh Natsir A Mangge, menilai, pendekatan keamanan mesti dilakukan untuk menyikapi persoalan PETI.
Menurut Natsir, aparat penegak hukumlah (APH) yang memiliki ranah untuk mengusut aktivitas pertambangan ilegal seperti di Kelurahan Poboya itu.
“Saya pikir APH tindaki saja. Kami bukan melakukan pembiaran, tetapi aktivitas PETI ini sudah harus dengan pendekatan keamanan,” tegas Natsir.
Ia mengakui bahwa sebelumnya pernah ramai beredar isu bahwa aktivitas perusahaan pertambangan emas PT CPM telah memberikan efek negatif terhadap lingkungan di daerah sekitarnya.
Namun ketika dilakukan crosscheck, Natsir meyakini limbah tambang PT CPM dikelola secara bertanggung jawab dan sesuai aturan.
“Selama yang kami periksa di lapangan, pengelolaan limbahnya saya pikir sekelas CPM pasti pendekatan secara profesional. Kalau masalah PETI, bagi DLH itu ranah kepolisian,” terangnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng juga mengungkap kekhawatiran atas pencemaran lingkungan sebagai dampak dari aktivitas PETI di ibu kota Sulawesi Tengah ini.
“Dampak yang ditimbulkan pertama tentu pencemaran air sehingga masyarakat sulit mengakses air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Wandi, Staf Departemen Advokasi dan Kampanye, Walhi Sulteng, baru-baru ini.
Wandi menambahkan, bahaya lain dari PETI adalah bisa menimbulkan risiko kesehatan seperti gatal-gatal pada kulit karena paparan bahan kimia berbahaya.
Walhi Sulteng menduga, pencemaran lingkungan di tambang Poboya telah terjadi ketika ditemukan adanya kubangan besar dengan kondisi air yang keruh pada Agustus 2023.
“Kami menduga kubangan air itu salah satu bentuk pencemaran, karena airnya berubah warna menjadi kecoklatan dan keruh. Hanya saja kami sulit untuk memastikan karena masalah akses. Penjagaan di area tambang sangat ketat,” singkat Wandi.
Sebelumnya, Pakar Ekologi, Dr. Ir. Abdul Rosyid, menjelaskan, aktivitas pertambangan yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur akan berpengaruh hingga ke laut.
Sebab, kata dia, dari hulu sungai akan mengalirkan air serta material dan zat kimia yang digunakan penambang untuk melakukan pemurnian, maka di laut yang menjadi muara akan mengalami sedimentasi akibat material yang ikut.
Kondisi tersebut, lanjut Rosyid, juga akan memengaruhi nelayan karena berkurangnya jumlah ikan di laut, sementara kebutuhan harian semakin tinggi.
POLISI BUNGKAM?
Sejak tahun 2017, media massa sudah ramai mengabarkan tentang penemuan bahan kimia berbahaya jenis merkuri seberat 5 kilogram di lokasi pertambangan emas Poboya.
Pemerintah sendiri telah melarang penggunaan merkuri di Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) melalui Konvensi Minamata dengan disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng menyatakan, aktivitas PETI di Poboya dan sekitarnya sudah berlangsung antara tahun 2008-2009.
JATAM mengidentifikasi setidaknya ada sejumlah metode yang digunakan para penambang ilegal dalam proses pengolahan emasnya, seperti menggunakan tromol dan teknik perendaman.
“Dari hasil investigasi kami, metode perendaman ini mulai dilakukan sejak 2017. Kalau pengolahan dari tromol sudah lama, sejak tahun 2007 atau 2008,” jelas Koordinator Jatam Sulteng, Moh Taufik, Kamis (13/09/2024).
Taufik awalnya menyoroti aktivitas penambangan yang diduga menggunakan merkurium, tetapi belakangan, proses pengolahannya dicurigai memakai sianida.
“Penggunaan zat kimia berbahaya ini karena dianggap lebih mudah dan praktis dalam proses pemurnian emas,” katanya.
Kepada wartawan, Taufik memperlihatkan tangkapan layar Google Earth, yang memperlihatkan kemunculan lokasi-lokasi perendaman emas baru yang diduga dikelola secara ilegal di wilayah konsesi PT CPM.
“Kami mengidentifikasi ada 4 titik perendaman, tapi satu titik ada beberapa (kolam) perendaman. Kalau dilihat perkembangannya, aktivitas penambangan di atas ini makin masif,” ungkapnya.
JATAM juga menduga, terdapat modus baru dalam bisnis tambang ilegal di Kota Palu dengan melibatkan warga negara asing (WNA).
Wartawan mencoba mendapatkan informasi terkait rantai distribusi bahan kimia ke lokasi PETI di Poboya, kepada pihak kepolisian.
Salah satu alasan mencari informasi ini ke pihak kepolisian karena adanya penangkapan dua WNA pelaku PETI di Vatutela oleh Polda Sulteng, Juni 2024 lalu.
Dalam kasus itu, polisi turut menyita sejumlah bahan kimia berbahaya, seperti hidrolik acid 32 persen dan hidrogen peroksida masing-masing satu jeriken berisi 30 liter.
Namun, pihak kepolisian tidak memberikan informasi apapun terkait ini. Ketika ditanya, baik Polresta Palu, maupun Polda Sulteng, pejabat terasnya saling tunjuk untuk memberikan keterangan. Dan hasilnya, tidak ada satupun yang berkomentar terkait itu.
Pada tanggal 13 September 2024, wartawan mencoba menghubungi Kabag Ops Polresta Palu via WhatsApp, kemudian mencoba menghubungi Humas Polda Sulteng, namun diarahkan konfirmasi ke penyidik.
Masih di hari yang sama, wartawan mencoba melakukan wawancara kepada Kasat Reskrim Polresta Palu via WhatsApp.
Saat itu, Kasat Reskrim Polresta Palu, AKP Reza, hanya mengatakan, bahwa pihaknya terus melakukan sosialisasi larangan aktivitas PETI namun belum menemukan adanya penggunaan bahan-bahan kimia.
“Saat ini masih sosialisasi. Kami belum menemukan bahan-bahan kimia yang dimaksud,” ujarnya.
Di tanggal 18 September 2024, wartawan kembali mencoba menggali informasi ini, dengan menghubungi
Dirreskrimsus Polda Sulteng via telepon, namun diarahkan ke humas. Pertanyaan terkait bahan kimia tersebut, kembali dikirimkan via WhatsApp, baik kepada Dirreskrimsus maupum Humas Polda Sulteng, namun tidak mendapat jawaban.
Di tanggal yang sama, penyidik Ditreskrimsus Polda Sulteng yang menangani perkara PETI, juga tidak memberikan respon apa-apa. ***
Tulisan ini bagian dari program kolaborasi liputan jurnalis Kota Palu yang tergabung dalam komunitas Roemah Jurnalis
Komentar