
SultengTerkini.Com, PALU– Sejumlah Dewan Adat di Sulawesi Tengah kembali melakukan pertemuan dengan pihak polda setempat untuk ketiga kalinya di sebuah kafe Kota Palu, belum lama ini.
Pertemuan tersebut dinilai belum memberikan gambaran kepastian penanganan hukum kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoax dan beraroma fitnah oleh Yahdi Basma kepada Longki Djanggola.
Ketua Dewan Adat Kabupaten Donggala, Datu Wajar Lamarauna menegaskan, Dewan Adat sudah memberikan ultimatum dan tidak ada kompromi jika polda tidak lakukan penambahan pasal serta mempercepat proses P-21.
“Kita tunggu sampai hari Rabu. Ini juga tenggat waktu yang diberikan Dewan Adat Banawa dan Kemagauan Sindue,” tegas Datu Wajar Lamarauna kepada jurnalis, Sabtu (14/9/2019).
Dia mengatakan, tenggat waktu ini sudah dikemukakan dan disepakati oleh sejumlah Dewan Adat pada silaturahmi beberapa waktu lalu, yakni selama 10 hari.
Namun, jika tidak ada kepastian, maka sanksi givu segera dijatuhkan kepada penyebar hoax dan fitnah. Datu menceritakan pertemuan mereka dengan pihak polda ada semacam ketidakpastian hukum.
Datu menegaskan, bila polda dan aparat hukum tidak memberikan keadilan hukum terhadap kasus hoax dan fitnah menimpa Gubernur Longki Djanggola yang dilakukan oleh tersangka Yahdi Basma, maka jangan salahkan dewan dan masyarakat yang terpaksa harus bertindak sesuai dengan hukum adat istiadat di Bumi Tadulako atau Tanah Kaili.
Pertemuan tersebut dihadiri Dewan Adat Palu, Dewan Adat Donggala, Dewan Adat Sigi, dan perwakilan Parigi Moutong.
Sementara pihak Polda Sulteng dihadiri oleh Wakil Direktur Intelkam AKBP Suliono.
Padahal sebelumnya ujar Datu, saat mereka dihubungi yang dijadwalkan bertemu adalah Kapolda Sulteng Brigjen Polisi Lukman Wahyu Hariyanto, namun tidak ada penjelasan mengapa kapolda tidak hadir.
Sementara itu, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Tadulako tahun 1998, Faizal Mohammad Saing menambahkan, berlarut-larutnya proses penanganan kasus hoax ini merupakan potret hukum yang buram.
Sebab P18 dan P19 adalah telah terjadi ketidakpastian hukum di Sulteng, sehingga sudah menjadi anti klimaks jika pada Kamis nanti seluruh rakyat Sulteng yang merasa prihatin harus merapatkan barisan turun ke jalan.
“Untuk melakukan parlemen jalanan menuntut hilangnya rasa keadilan yang dipertontonkan penyidik di hadapan kita semua,” tegas Faizal, Ahad (15/9/2019).
Olehnya, Dia meminta Polda Sulteng lebih profesional dan terbuka dalam penanganan kasus yang sudah terang benderang siapa penyebarnya.
“Jangan sampai muncul penilaian publik ketidakseriusan pihak polda dalam penanganan kasus hoax yang terkesan tebang pilih atau malah terindikasi hanya melindungi pelakunya,” katanya.
Hal ini tutur Faizal, tidak sejalan dengan program pemerintah pusat dan Polri yang mengampanyekan perang terhadap hoax. BOB/CAL















Komentar