Tambang Tak Harus Merusak

WhatsApp Image 2019-09-29 at 18.08.54
PENYULUH dan petani memanen padi organik binaan PT Vale. Hingga kini, PT Vale terus menggalakkan pertanian organik di daerah lingkar tambang untuk meningkatkan produktivitas padi dan meningkatkan kesejahteraan petani. FOTO: AGUS PANCA SAPUTRA

TAMBANG. Kata ini identik dengan kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, gratifikasi izin usaha, tenaga kerja asing, perebutan lahan, pengalihfungsian lahan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kependudukan akibat migrasi besar-besaran serta masalah-masalah lain yang kerap mengganggu kelangsungan adat istiadat dan budaya.

OLEH: AGUS PANCA SAPUTRA*)

Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alam. emas, bijih besi, batu bara, minyak, gas, nikel serta mineral lain banyak terkandung di perut bumi negeri ini.

Makanya, tak sedikit negara-negara maju yang mencoba mengeruk anugerah Tuhan tersebut serta mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

Di dunia ini, pertambangan bukanlah hal baru. Sejarah mencatat, penambangan tertua terjadi sejak 43 ribu tahun lalu berdasarkan peninggalan radiocarbon di Lion Cave, Swazilan.

Ketika itu, manusia menambang hematit untuk membuat pigmen pewarna merah. Pada masa itu pula, ditemukan jejak penambangan batu di Hungaria. Batu hasil tambang, digunakan sebagai senjata dan peralatan hidup.

Metode penambangan bawah tanah diperkirakan terjadi 4.000 tahun lalu. Sejarawan Yunani, Agatharcide menuliskan gambaran tentang sistem pertambangan di Mesir sekira 200 tahun sebelum masehi. Pertambangan emas Nubia menjadi pertambangan emas paling produktif selama Mesir Kuno. Selain emas, penduduk Mesir Kuno juga sudah menambang malachite untuk ornamen dan tembikar.

Hingga sekira 2613-2494 sebelum masehi, penduduk Mesir Kuno sudah melakukan eksplorasi dan penambangan di area Wadei Maghareh, Wadi Hamamat, Aswan, dan khususnya Tura di sekitar Semenanjung Sinai.

Di Eropa, Bangsa Romawi juga telah memulai kegiatan pertambangan emas di Gunung Pangeo. Di bawah pemerintahan Philip II of Macedon, ayah dari Alexander Agung, pertambangan ini mampu memproduksi 26 ton emas setiap tahun.

Selanjutnya, Bangsa Romawi terus mengembangkan berbagai sistem pertambangan pada beragam komoditas untuk menyokong kehidupan sehari-hari hingga kebutuhan perang.

Sedangkan di  Amerika, penambangan oleh suku Indian  dilakukan sejak 5.000 tahun lalu di sekitar Danau Superior, Minnesota. Aktivitas penambangan ini terbukti dengan ditemukannya peralatan tembaga dan artefak sisa perdagangan, seperti obsidian, batu, tembaga, dan mineral lainnya.

Seiring perkembangan zaman, aktivitas pertambangan terus berlangsung. Bahkan, perusahaan tambang menggunakan teknologi canggih sehingga membuat aktivitas penambangan menjadi mudah dan menguntungkan.

Masifnya aktivitas penambangan di berbagai penjuru dunia, membuat organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencoba merumuskan kebijakan tentang tambang. Dasarnya adalah kekayaan alam yang berada di bawah perut bumi tak bisa diperbaharui.

Sementara, populasi manusia terus bertambah dan kebutuhan akan mineral tak bisa dibendung.

Awalnya, PBB tidak secara eksplisit merumuskan tentang kebijakan pertambangan. PBB membuat rumusan tentang pembangunan berkelanjutan. Tema pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) ini diperkenalkan pada Konferensi PBB tahun 1972 di Stockholm, Swedia.

Saat itu, dunia menyadari bahwa manusia akan bertahan hidup ditengah keterbatasan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam seperti makanan, energi, mineral dan air yang serampangan, akan memicu krisis global.

Berangkat dari Konferensi PBB tahun 1972, World Commision on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 merumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

WCED juga menegaskan bahwa pembangunan dan lingkungan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena lingkungan adalah tempat kita hidup dan pembangunan adalah apa yang kita lakukan sebagai upaya memperbaiki kehidupan.

Rumusan pembangunan berkelanjutan diteruskan dalam konferensi internasional PBB di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 1992. Secara spesifik, konferensi ini mengadopsi agenda lingkungan dan pembangunan yang secara mutlak harus diterapkan di seluruh negara. Tahun itu, PBB mendeklarasikan hak setiap bangsa untuk mengejar kemajuan sosial dan ekonomi dengan memberi tanggung jawab kepada negara untuk mengadopsi model pembangunan berkelanjutan yang didalamnya  menyangkut seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, hingga keamanan. Program pertambangan berkelanjutan (Sustainable Mining) adalah turunan dari agenda pembangunan berkelanjutan ini.

TAMBANG KERAP MERUSAK

Meski PBB telah mewajibkan konsep pertambangan berkelanjutan sebagai turunan dari  pembangunan berkelanjutan, namun masih banyak perusahaan-perusahaan tambang yang mengabaikannya.

Jaringan Tambang (Jatam) Indonesia memiliki catatan mengenai kerusakan alam akibat aktivitas pertambangan di Indonesia. Menurut laporan Jatam Indonesia, aktivitas pertambangan mineral dan batu bara, kini tak hanya berada di pulau-pulau besar, melainkan telah menyentuh pulau-pulau kecil dan terluar.

Dalam buku bertajuk Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang yang ditulis Koordinator Nasional Jatam, Merah Johansyah Ismail pada Januari 2019  menyebutkan, aktivitas tambang yang paling banyak terjadi di pulau-pulau kecil adalah pertambangan nikel. Jatam mencatat, dari 55 pulau kecil yang dikuasai pertambangan, 29 diantaranya adalah pertambangan nikel. Pertambangan nikel terdapat di sejumlah daerah Indonesia Timur seperti Provinsi Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat. Beberapa pulau kecil yang dikavling oleh pertambangan nikel adalah Pulau Gee, Pulau Gebe, Pulau Doi dan Pulau Bacan.

Di Pulau Gebe Provinsi Maluku Utara, menurut buku tersebut, tanaman Sagu yang menjadi andalan masyarakat setempat kini telah beralihfungsi menjadi lahan tambang nikel. Sebanyak 12 Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan produksi telah terbit di pulau itu pasca Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aneka Tambang angkat kaki dari pulau tersebut pada 2004.

Sebelumnya, PT Antam telah menancapkan kukunya di Pulau Gebe sejak tahun 1979. Selain permasalahan alihfungsi lahan pertanian, persoalan-persoalan lain pun kerap timbul di pulau tersebut.

“Pulau-pulau kecil memiliki berbagai sumber daya yang mampu menunjang kebutuhan pangan nasional. Keberadaan penduduk mampu berperan sebagai pelaku penting dalam mengakses sumber daya alam (misalnya sebagai distributor pangan) yang berada di sekitar pulau-pulau kecil. Dengan berbagai pemanfaatan seperti ikan-ikan karang, aspek pariwisata menjadi komponen-komponen yang memiliki potensi finansial bagi daerah. Namun, keselamatan masyarakat serta lingkungan di pulau-pulau kecil terancam akibat kehadiran pertambangan di beberapa pulau kecil di Indonesia,” tulis Merah Johansyah Ismail.

WhatsApp Image 2019-09-29 at 18.09.07
MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Ignasius Jonan menyerahkan penghargaan Subroto Award kepada Deputy CEO PT Vale, Febriany Eddy di Djakarta Theater, Jumat (27/9/2019). FOTO: DOK PT VALE

VALE TAMPIL BEDA

Deputy CEO PT Vale Indonesia, Febriany Eddy dalam sebuah kesempatan mengatakan, dalam dunia pertambangan, PT Vale tampil berbeda dengan perusahaan-perusahaan lain. PT Vale dalam setiap aktivitasnya senantiasa mengedepan kemaslahatan masyarakat banyak. Hal ini seiring dengan visi PT Vale yakni menjadi perusahaan sumber daya alam nomor satu di Indonesia yang menggunakan standar global dalam menciptakan nilai jangka panjang, melalui keunggulan kinerja dan kepedulian terhadap manusia dan alam.

“Misi kami adalah mengubah sumber daya alam menjadi kemakmuran dan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam pengelolaan tambang, kami punya konsep yang berbeda. Menambang tak harus merusak,” tegas Febriany Eddy.

Lantas apa yang menjadikan PT Vale berbeda dengan perusahaan sejenis yang lain?

INTEGRASI TIGA DANAU UNTUK ENERGI TERBARUKAN

PT Vale Indonesia mengintegrasikan tiga danau untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).  Energi terbarukan yang ramah lingkungan itu digunakan untuk mengoperasikan mesin pelebur dan pengolahan bijih nikel serta sebagian energi lainnya disalurkan kepada masyarakat sekitar perusahaan. Keberadaan tiga energi PLTA tersebut mengurangi konsumsi energi termal yang mengandalkan bahan bakar fosil.

Tiga PLTA yang dibangun PT Vale Indonesia adalah PLTA Larona, PLTA Balambano dan PLTA Karebbe. Pembangunan PLTA ini memanfaatkan air dari tiga danau yakni Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti.

PT Vale Indonesia memperoleh energi listrik sebesar 165 megawatt dari PLTA Larona, 110 megawatt dari PLTA Balambano dan 90 megawatt dari PLTA Karebbe. Dari hasil energi listrik tersebut, 10,7 megawatt dibagikan ke sejumlah desa melalui PLN. Tak hanya itu, PT Vale Indonesia juga memenuhi pembayaran pajak penerangan jalan hingga Rp 1 miliar per bulan khusus area Sorowako.

“Untuk masyarakat, PT Vale Indonesia memberi daya 10,7 megawatt melalui PLN,” kata Senior Coordinator of Communication PT Vale Indonesia, Sihanto Bela.

Pembangunan tiga PLTA juga berfungsi sebagai bangunan pengendali banjir melalui sistem kontrol di pintu-pintu air tersebut.

Hydro Management Analisys PLTA PT Vale, Sukardi menjelaskan, PLTA yang dibangun PT Vale Indonesia dirancang dengan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan. Air Danau Matano yang memutar turbin PLTA Larona kemudian dibendung untuk memutar turbin di PLTA Balambano.

Setelah dari situ, airnya kembali dibendung untuk memutar turbin PLTA Karebbe.

“Seluruh PLTA ini terintegrasi. Baik mesin maupun infrastrukturnya, semua menggunakan teknologi canggih yang ramah lingkungan. Di PLTA Larona, kami memasang lining di dindingnya sebagai pelapis kebocoran. Lining ini bertahan sampai 25 tahun kedepan,” jelas Sukardi.

TANAM 1,2 JUTA POHON

Sebelum memulai aktivitas penambangan, hal pertama yang dilakukan PT Vale Indonesia adalah  menginventarisir tanaman lokal dan tanaman endemik yang ada di areal lahan konsesi. Setelah itu, perusahaan membina petani lokal untuk membibit dan membudidaya tanaman tersebut.

Pada saat pembongkaran lahan, perusahaan mengamankan top soil, yakni tanah lapisan atas yang mengandung banyak unsur hara. Top soil ini ditampung di sebuah lahan kosong yang telah disiapkan sebelumnya. Top soil ini nantinya digunakan untuk menutup bekas-bekas lubang galian nikel. Lubang galian yang telah ditutup top soil, kemudian ditanami tanaman lokal dan endemik yang telah dibibit.

Hingga triwulan pertama tahun 2019, PT Vale Indonesia telah menanam 1,2 juta pohon tanaman lokal dan endemik di bekas galian tambang seluas 4.385 hektare.

Kebijakan penanaman pohon secara masif menghantarkan PT Vale Indonesia meraih predikat perusahaan terbaik nasional empat kali berturut-turut.

Penanaman pohon pionir dan pohon lokal tersebut dilakukan secara berkesinambungan sejak PT Vale berdiri tahun 1968.

Manager Reklamasi Tambang PT Vale Indonesia, Yohan Lawang menuturkan, komitmen dan konsistensi perusahaan dalam menjaga lingkungan membawa PT Vale Indonesia Tbk meraih penghargaan beruntun sebagai perusahaan dengan reklamasi tambang terbaik se Indonesia.

Penghargaan ini diberikan langsung oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.

“PT Vale meraih predikat best of the best reklamasi tambang se Indonesia selama empat tahun berturut-turut. Untuk tahun ini belum dinilai,” kata Yohan Lawang didampingi Communication Officer PT Vale Indonesia, Winda Herlina medio Maret 2019.

Lahan yang telah direklamasi, sebagiannya dijadikan taman wisata. Lahan seluas 110 hektar dijadikan sebagai Taman Raya Wallacea Sawerigading (TRWS). Untuk membangun taman raya ini, PT Vale mengeluarkan dana sebesar Rp 32 miliar.

Di TRWS itu, terdapat pusat pembibitan untuk mendukung kegiatan reklamasi lahan, taman tambang dengan beberapa jenis peralatan tambang, gedung utama yang berfungsi sebagai pusat informasi yang dilengkapi dengan ruang pamer (galeri), laboratorium, perpustakaan dan ruang video.

Di taman raya ini juga terdapat jungle track menyusuri Bukit Botoh yang memiliki pemandangan menarik. Sesuai rencananya, TRWS ini menjadi wahana wisata edukasi dan wisata rekreasi.

PRIORITASKAN TENAGA KERJA INDONESIA

Sejak beroperasi, PT Vale Indonesia memprioritaskan tenaga kerja Indonesia dalam mengelola tambang. Dari 3.900-an karyawan PT Vale, sebagian besar diantaranya adalah tenaga kerja lokal.

Senior Manager Stakeholder PT Vale Indonesia, Yusri Yunus menuturkan, kebijakan perusahaan mempekerjakan masyarakat lokal adalah bentuk komitmen perusahaan dalam mewujudkan masyarakat sejahtera.

“Di lokasi tambang ini, kami mengupayakan pemanfaatan sumber daya alam yang ramah lingkungan dan memanfaatkan masyarakat lokal. Selain masyarakatnya, kami juga berkomitmen menjaga dan memelihara kearifan lokal masyarakat,” tutur Yusri Yunus.

Sementara itu, Senior Coordinator Communication PT Vale Indonesia, Sihanto Bela memperlihatkan video yang menggambarkan bahwa PT Vale Indonesia senantiasa patuh terhadap seluruh aturan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang diatur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya.

Kepatuhan tersebut meliputi jaminan kesehatan, keamanan kerja hingga kesejahteraan karyawan.

JUTAAN DOLAR UNTUK MESIN PENANGKAP DEBU

Satu hal yang menjadi pembeda PT Vale dengan perusahaan sejenis adalah teknologi modern mesin penangkap debu. PT Vale mengeluarkan biaya sebesar USD 10 juta untuk membangun mesin tersebut.

Mesin penangkap debu disebut Bag House. Debu yang keluar saat proses peleburan bijih nikel ditangkap oleh mesin berukuran jumbo layaknya vacum cleaner. Penangkapan debu ini dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara.

Direktur Support and Site Services PT Vale Indonesia, Agus Superiadi menuturkan, PT Vale Indonesia sangat berkomitmen dalam meminimalisir dampak lingkungan.

“Kami berani menghabiskan dana jutaan dolar untuk mesin penangkap debu. Ini komitmen kami dalam menjaga lingkungan,” tuturnya.

PROGRAM MITRA DESA MANDIRI

Program Mitra Desa Mandiri (PMDM) adalah program inti PT Vale yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pendidikan, kesehatan dan ekonomi, serta memperkuat lembaga dan tata pemerintahan setempat. Pada tahun 2009, program PMDM lebih dititikberatkan pada pemanfaatan potensi daerah.

Pada tahun 2018, PT Vale telah mengeluarkan dana sebesar 21,5 juta dolar untuk mendanai PMDM di 38 desa di sekitar lokasi tambang. Selain pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan, PMDM juga menyentuh sektor pertanian. Sebanyak 196 petani mulai menerapkan sistem pertanian organik di lahan seluas 83,9 hektar.

Penerapan metode Sistem of Rice Intensification (SRI) pada tanaman padi mampu menunjang peningkatan produksi padi dan kesejahteraan petani. Dengan sistem ini, hasil panen padi tiap hektare meningkat serta harga jual beras organik lebih tinggi dibanding harga beras biasa.

NAIKKAN PENERIMAAN NEGARA

Yang tak kalah penting dari keberadaan PT Vale di Indonesia adalah penerimaan negara. Perusahaan ini aktif menyetorkan royalti kepada pemerintah Indonesia. Bahkan pada tahun 2014, PT Vale menaikkan setoran sebesar 2 persen, dari sebelumnya hanya 0,9 persen.

Bahkan, PT Vale berani menyetor ke kas negara sebesar 3 persen apabila harga nikel dunia tembus 21 ribu dolar per ton. Pada tahun 2018, PT Vale telah menyetorkan dananya ke kas negara sebesar 91,87 juta dolar atau meningkat 46 persen dibanding setoran tahun 2017.

PENGHARGAAN DUNIA

Bukti keseriusan PT Vale dalam mewujudkan sustainable mining adalah berbagai penghargaan dunia yang telah diperoleh perusahaan tersebut. Pada September 2019, PT Vale bahkan memperoleh dua penghargaan sekaligus, yakni penghargaan Asia’s Top Sustainability Superwomen 2019 dan Subroto Award, kategori perlindungan lingkungan pertambangan.

Asia’s Top Sustainability Superwomen diberikan kepada Deputy CEO PT Vale, Febriany Eddy pada 4 September lalu di Singapura. Febriany Eddy dinilai oleh CSRWorks International, biro kredibel di Singapura yang bergerak di bidang konsultan berkelanjutan, pelatihan dan kepemimpinan, sebagai perempuan yang memimpin inisiatif keberlanjutan dengan hasil signifikan di dalam maupun di luar organisasinya.

CSRWorks International memberikan pengakuan dan penghargaan kepada Febriany Eddy karena telah berkontribusi dalam mendorong perubahan dunia.

“Saya bersyukur atas penghargaan yang diberikan kepada saya. Di PT Vale, keberlanjutan tertuang dalam misi perusahaan sehingga mustahil menjalankan kegiatan usaha tanpa berpijak pada sasaran-sasaran keberlanjutan,” tegas Febriany Eddy.

Sementara pada 27 September 2019, PT Vale juga memperoleh penghargaan Subroto Award. Subroto Award ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada para pemangku kepentingan yang memiliki prestasi luar biasa dalam memajukan sektor ESDM.

Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan kepada Deputy CEO PT Vale, Febriany Eddy di Djakarta Theater. Pada tahun 2018, PT Vale juga meraih penghargaan ini.

Disamping dua penghargaan tersebut, masih banyak penghargaan lain yang telah diterima PT Vale, diantaranya, Sustainable Business Award (SBA), Top CSR Award 2018, Indonesia Mining Award, Top Leader on CSR Commitment 2018 dan Public Relation Indonesia Awards 2018.

“Keberlanjutan adalah suatu hal penting bagi identitas perseroan kami, selaras dengan misi kami dalam mengembangkan sumber daya alam untuk kesejahteraan dan mendukung program pembangunan berkelanjutan,” tulis Presiden Direktur PT Vale, Nicolas D Kanter dalam Annual Repport PT Vale tahun 2018.

Inilah yang menjadi pembeda PT Vale dengan perusahaan tambang yang lain di Indonesia. Semoga perusahaan lain bisa meneladani PT Vale, sehingga kehadiran perusahaan tambang tak hanya sekadar mengeruk kekayaan bangsa dan merusak kehidupan generasi Indonesia. ***

*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi SultengTerkini.Com dan tulisan ini digunakan untuk mengikuti Vale Journalistic Contest 2019

Komentar