Bawaslu Sulteng Ingatkan Kades Jangan Berpolitik Praktis

KETUA Bawaslu Sulteng, Ruslan Husen. FOTO: IST

SultengTerkini.Com, PALU– Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tengah (Sulteng) mengingatkan bahwa kepala desa (Kades) dan perangkatnya tidak boleh melakukan politik praktis pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020.

“Kepala desa mempunyai kedudukan penting sebagai pelayan publik dan pemimpin masyarakat desa, sehingga dituntut tidak terlibat kegiatan politik praktis,” Kata Ketua Bawaslu Sulteng kepada SultengTerkini.Com, Ahad (20/9/2020).

Ruslan Husen menjelaskan, Pasal 29 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyebutkan kades dan perangkat desa yang terdiri sekretaris desa, pelaksana kewilayahan dan pelaksana teknis dilarang menjadi pengurus partai politik dan ikut serta atau terlibat dalam kampanye pilkada.

“Jika ditemukan kepala desa maupun perangkat desa yang melanggar dengan bukti pelanggaran yang kuat, maka jajaran Bawaslu tidak segan-segan melakukan penindakan pelanggaran,” tegasnya.

Dia menegaskan, konsekuensi hukum bagi kades yang melanggar larangan tersebut, diancam sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan, serta denda paling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak enam juta rupiah.

“Jauh hari, Bawaslu telah menyampaikan surat imbauan, sosialisasi, dan koordinasi untuk menjamin netralitas kepala desa, agar tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis,” pungkasnya.

Dia mengatakan, ada kecenderungan kades maupun perangkat desa terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Untuk itu pihaknya mengharap para kades dan perangkatnya di Sulteng menghindari tindakan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilihan.

Untuk diketahui, sampai 18 September 2020, Bawaslu Sulteng mencatat jumlah kades terbukti melakukan pelanggaran politik praktis.

Untuk jenis pelanggaran hukum lainnya sebanyak 18 kasus.

Dengan rincian, 15 kasus kades di Kabupaten Banggai dan tiga kasus kades di Kabupaten Sigi. Selain itu, terdapat satu kasus yang menyeret sekretaris desa di Kabupaten Sigi.

Sekretaris desa tersebut selain melanggar Undang-Undang Desa juga melanggar prinsip netralitas selaku Aparatur Sipil Negara (ASN).

Selanjutnya Bawaslu Kabupaten Sigi meneruskan rekomendasi pelanggaran, selain ke kepala daerah juga kepada Komisi ASN di Jakarta.

Dia mengatakan, penindakan pelanggaran terhadap kegiatan politik praktis kepala desa atau perangkat desa, termasuk kategori pelanggaran hukum lainnya, sehingga eksekusi atas pelanggaran, bukan di tangan Bawaslu tetapi pada instansi lain yang berwenang berupa sanksi administratif sesuai Undang-Undang Desa.

“Hasil penindakan pelanggaran, menghasilkan rekomendasi yang diteruskan kepada atasan kepala desa, yakni bupati dengan melampirkan kajian pelanggaran disertai bukti-bukti terkait,” sebutnya.

Kemudian, kegiatan politik praktis atau pelanggaran kepala desa dalam pilkada, juga dapat berkonsekuensi pelanggaran pidana pemilihan. Pidana pemilihan, berawal dari laporan atau temuan dugaan pelanggaran untuk dibahas dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang beranggotakan bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan.

“Hal ini merujuk Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan, bahwa kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon,” terangnya.

Menurutnya, tindakan kades yang mengajak warganya agar mendukung atau memilih pasangan calon kepala daerah tertentu, merupakan tindakan pelanggaran. Apalagi menggunakan fasilitas desa atau fasilitas jabatannya.

“Akan tetapi, pelanggaran tersebut harus dibuktikan lebih dahulu,” pungkasnya. NUR