POSO– Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) yang diresmikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), pada Jumat (25/2/2022) tercatat sebagai pembangkit energi baru terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia Timur.
Pembangkit berkapasitas 515 Mega Watt (MW) itu akan menjadi pembangkit peaker yang akan dioperasikan selama waktu beban puncak di sistem Sulawesi Bagian Selatan.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menyebutkan, hadirnya pembangkit yang memanfaatkan aliran air Sungai Poso ini, bertepatan dengan momentum banyak industri smelter yang masuk ke sistem kelistrikan PLN di Sulawesi Bagian Selatan.
Menurutnya, kebutuhan industri akan listrik hijau sebagai salah satu syarat ekspor, dapat dipenuhi dengan masuknya PLTA Poso dalam sistem Sulawesi.
“PLN berkomitmen untuk terus mendukung perkembangan industri, khususnya industri pengolahan hasil tambang, dengan memberikan pilihan energi bersih yang dapat diandalkan,” ujar Darmawan, dalam keterangannya yang diterima media ini, Jumat (25/2/2022).
PLTA Poso merupakan pembangkit yang dibangun dan dioperasikan oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) PT Poso Energy, anak usaha Kalla Group, dan masuk dalam pengawasan PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Sulawesi.
Menurut Darmawan, peran PLTA Poso sebagai pembangkit peaker didukung oleh beberapa faktor. Pertama, pembangkit ini memiliki live storage cukup besar, yaitu Danau Poso.
Selain itu, PLTA Poso dilengkapi dengan regulating dam yang bisa mengatur debit keluaran dari Danau Poso.
Alhasil, kata Darmawan, pembangkit ini dapat beroperasi dengan kapasitas penuh pada jam puncak sepanjang tahun.
“PLTA Poso mampu start-stop dengan cepat, bahkan sinkronisasi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 15 menit. Sehingga mampu merespons perubahan beban dengan cepat sehingga memperbaiki kualitas listrik pada sistem jaringan,” paparnya.
Berbeda dengan PLTA umumnya yang menggunakan konsep waduk sehingga membutuhkan lahan yang besar, PLTA Poso menggunakan sistem pengelolaan run-off river (ROR).
Sistem ini kata Darmawan, tetap mempertahankan aliran sungai selama 24 jam, hanya menggunakan bendungan atau tanggul berukuran cukup kecil sebagai penahan atau gerbang air.
“Kita hanya pinjam, air sungainya kita diversi sedikit ke sekitar sisi sungai, kita terjunkan ke turbin, kemudian kembalikan lagi pada sistem sungai,” jelasnya.
Dari aspek pengembangan energi terbarukan, PLTA Poso berkontribusi sekitar 10,69 persen dari total bauran EBT sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan.
Selain itu, terbangunnya PLTA Poso merupakan bukti nyata agresifnya Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 yang berkontribusi dalam pengurangan emisi dunia.
“PLTA Poso menjadi salah satu proyek dengan kapasitas besar, menjadi peaker dan follower di sistem kelistrikan Sulawesi. Dengan hadirnya PLTA Poso juga mampu menurunkan biaya produksi listrik sehingga menjadi bukti pengembangan EBT makin kompetitif,” tambah Darmawan.
Saat ini pembangkit ramah lingkungan ini telah terinterkoneksi dengan saluran transmisi 275 kV ke Provinsi Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, PLTA Poso juga telah tersambung dengan saluran transmisi 150 kV dari pembangkit ke Kota Palu.
DUA PLTA MILIK JUSUF KALLA
Selain PLTA Poso, Presiden Jokowi, juga meresmikan PLTA Malea berkapasitas 90 MW, yang berada di Tana Roraja, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Pembangkit ini dikembangkan oleh PT Malea Energy, anak usaha PT Bukaka Teknik Utama, yang juga milik Kalla Group.
Pengoperasian dua PLTA ini telah meningkatkan bauran EBT di Pulau Sulawesi mencapai 38,8 persen.
PLTA Poso dan Malea, dioperasikan oleh perusahaan milik Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Dua PLTA ini menelan investasi hingga Rp 17,1 triliun.
Dewan Penasehat Kalla Grup, Jusuf Kalla, menyebut PLTA yang dibangun pihaknya menyerap hingga 2.000 tenaga kerja. Sebanyak 80 persen dari pekerja ini berasal dari warga lokal.
“Hanya chief engineer saja yang datang, yang punya pengalaman. Sisanya semuanya dikerjakan oleh anak bangsa. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)-nya juga besar,” ujar Jusuf Kalla.
Sementara terkait besarnya biaya pembangunan PLTA yang dua kali lipat dibanding PLTU, pihaknya tak menampik. Jusuf Kalla menyebutkan biaya untuk membangun kedua PLTA berkapasitas total 605 MW ini mencapai USD 1,2 miliar atau Rp 17 triliun.
Kendati mengakui biaya pembangunan PLTA yang lebih mahal dibanding pembangkit berbasis fosil, Jusuf Kalla menyebut biaya operasional PLTA lebih murah.
“Memang secara investasi di awal ini besar kalau pengembangan EBT. Hanya saja, secara operasionalnya kedepan jauh lebih murah. Sedangkan jika PLTU, investasi di depannya memang murah namun ongkos operasionalnya mahal,” kata Jusuf Kalla. */ROI














Komentar