SultengTerkini.Com, PALU– Ketua Komisi II DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Lukky Semen menegaskan akan mendorong dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) atau Panitia Kerja untuk merespon carut marutnya tata kelola perkebunan sawit di wilayahnya, terutama di Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala.
Penegasan itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi II DPRD Sulteng dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng dan perwakilan masyarakat lima desa di Kecamatan Rio Pakava, Selasa (18/9/2018) di Ruang Baruga DPRD setempat.
“Setelah mendengar pemaparan Walhi dan cerita-cerita dari masyarakat Rio Pakava yang menjadi korban dari buruknya tata kelola perkebunan sawit disana, maka saya menyimpulkan perlu dibentuk Panitia Khusus atau Panitia Kerja yang terdiri dari gabungan Komisi I, II bahkan mungkin komisi III,” jelas Lukky.
Hal ini, menurutnya karena masalah yang mengemuka cukup kompleks. “Ada masalah tata batas wilayah administratif pemerintahan Sulteng dan Sulbar, masalah ketidakjelasan atau tumpang tindih tata batas lahan HGU perusahaan dan lahan masyarakat, sehingga berakibat pada konflik antara perusahan dengan masyarakat. Dan ujungnya, masyarakat jadi korban kriminalisasi,” ungkap Ketua Fraksi PDIP itu.
Dalam RDP yang juga dihadiri anggota DPRD Erwin Lamporo (Hanura), Muhammad Masykur (Nasdem) dan Nasution Camang (Nasdem) itu, perwakilan masyarakat Rio Pakava memberikan testimoni terkait tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Polres Mamuju Utara terhadap diri mereka.
Sebut saja Hemsi, petani Desa Panca Mukti ini mengaku mengalami penyiksaan dari sejumlah oknum kepolisian Mamuju Utara sebelum dimasukkan ke sel tahanan pada September 2017 silam.
Kriminalisasi itu menimpanya hanya karena memanen tandan sawit yang ditanaminya sendiri di lahannya yang oleh PT Mamuang justru diklaim sebagai lahan HGUnya.
Padahal Hemsi memiliki alas hak SKPT sementara PT Mamuang hingga saat ini belum bisa menunjukkan alas haknya, selain hanya klaim.
Kriminalisasi serupa sebelumnya juga terjadi pada petani Desa Polanto Jaya pada April 2017, yakni Jufri, Suprapto dan Sikusman.
Ketiganya bahkan telah ditahan sejak 4 Oktober hingga Desember 2017 berdasarkan surat perintah penangkapan tertanggal 3 Oktober 2017.
“Terus terang, kami sedih dan kecewa. Pemerintah Sulteng seolah tak peduli pada nasib kami. Padahal kami ini warga Sulteng, mengolah lahan kami sendiri di wilayah Sulteng, tapi dikriminalisasi oleh oknum kepolisian Mamuju Barat. Karena itulah kami datang mengadu ke DPRD Sulteng,” ucap Jufri.
Selain kriminalisasi, persoalan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang fluktuatif akibat permainan harga semena-mena dari manajemen pabrik milik perusahaan menjadi keluhan.
“Harga bisa anjlok drastis dari harga standar Rp 1.500/kg di pabrik. Sekarang ini harga di pabrik Rp 1000/kg dan Rp 700/kg di tempat,” keluhan Nyoman, petani sawit mandiri ini.
Menurutnya, saat ini ada 13.000 hektare perkebunan sawit mandiri milik ribuan jiwa masyarakat Rio Pakava. Penjualannya semuanya bergantung pada pabrik milik perusahaan.
“Kami berharap Pemerintah Sulteng bisa mengeluarkan aturan terkait standar harga TBS sawit ini,” ujarnya.
Kasus yang terjadi di Rio Pakava ini, menurut Walhi, hanya salah satu potret dari buruknya tata kelola perkebunan sawit di Sulteng.
Di Morowali Utara, Buol bahkan di kabupaten lain di Sulteng hal serupa juga terjadi, yakni minimnya kontribusi perkebunan sawit serta munculnya berbagai konflik agraria.
Sehingga, perlu ada keseriusan negara, melalui pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Moratorium dan review perizinan perkebunan sawit, audit lingkungan serta penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan, menurut Walhi, merupakan langkah penting yang patut dilakukan.
RDP yang berlangsung sekira dua jam itu, melahirkan beberapa rekomendasi untuk ditindak lanjuti, yang antara lain pertama, DPRD Sulteng akan membentuk tim khusus untuk penyelesaian tapal batas Sulteng-Sulbar, yang berkaitan dengan dugaan penyerobotan wilayah Sulteng oleh PT Mamuang.
Kedua, inventarisasi dan pengkayaan data untuk merespon masalah di Rio Pakava, terutama kasus kriminalisasi yang dialami oleh warga setempat.
Ketiga, mendorong penyelesaian masalah harga TBS yang merugikan petani sawit mandiri. Keempat, mendorong review izin perkebunan sawit di Sulawesi Tengah.
Menurut Walhi, ini adalah itikad baik dari DPRD yang perlu diapresiasi, sehingga tata kelola perkebunan kelapa sawit yang baik di Sulawesi Tengah dapat terwujud. CAL
Komentar