Jatam Gugat Menteri LHK, Gubernur Sulteng dan Tiga Perusahaan Tambang

20180703_120033
SALAH satu contoh kerusakan lingkungan hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah di wilayah Kabupaten Morowali dan Morowali Utara. FOTO: IST

SultengTerkini.Com, PALU– Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng) menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar serta Gubernur Sulteng Longki Djanggola terkait masalah lingkungan hidup di wilayah Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Morut).

Gugatan tersebut menurut Koordinator Eksekutif Jatam Sulteng, Syahrudin A Douw, telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Poso dengan Register Perkara Nomor: 77/Pdt.G/2018/PN Pso tanggal 13 September 2018.

“Sebagai lembaga lingkungan hidup yang memiliki hak gugat organisasi, dengan penuh tanggungjawab dan kecintaan terhadap lingkungan hidup, maka kami telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Poso,” kata Syahrudin kepada SultengTerkini.Com, Selasa (18/9/2018).

Selain Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Gubernur Sulawesi Tengah, Jatam juga menggugat tiga perusahaan masing-masing PT COR Industri Indonesia, PT Mulia Pacific Resources, dan PT Itamatra Nusantara.

Syahrudin yang akrab disapa Ethal itu mengatakan, pada 1 Maret 2018 hingga 10 Juli 2018,  Jatam Sulteng melakukan riset dan investigasi di wilayah Morowali dan Morut.

Hasilnya, pihak Jatam Sulteng menemukan fakta-fakta perubahan bentang alam akibat industri pertambangan.

Perubahan bentang alam terjadi karena proses penambangan yang tidak ramah lingkungan dan menyingkirkan rakyat dilakukan dengan masif.

“Fakta ini kami temukan khususnya di Teluk Tomori, Morowali Utara,” tutur Ethal.

Ia membeberkan sejumlah fakta lapangan di Pesisir Teluk Tomori yang ditemukan oleh Jatam Sulteng yakni terdapat aktivitas pemurnia PT COR Industri Indonesia di Dusun Lambolo, Desa Ganda-Ganda, berbatasan dengan Pesisir Teluk Tomori.

Kemudian terdapat aktivitas PT Itamatra Nusantara dan PT Mulia Pacific Resources (MPR) yang berbatasan langsung dengan PT COR Industri Indonesia.

Ia mengatakan, PT Itamatra dan PT MPR adalah suplayer ore nikel/nikel mentah dari pegunungan di Desa Ganda-Ganda untuk diproses menjadi nikel setengah jadi oleh PT COR Industri Indonesia.

Selanjutnya ditemukan fakta adanya aliran sungai yang mengalir ke pesisir Teluk Tomori, dan pada waktu penghujan sungai tersebut bercampur material tanah yang berakibat pada mendangkalnya pesisir laut.

“Salah satu penyebab adanya pendangkalan karena kuat dugaan, material lumpur berasal dari aktivitas PT Itamatra Nusantara dan PT MPR,” tutur alumni Universitas Tadulako itu.

Berikutnya, ditemukan fakta PT COR Industri Indonesia tidak membuat kolam outlet dan perbaikan terhadap drainase disekitar kawasan pabrik agar tidak terjadi pedangkalan di pinggir laut.

Hal ini diperkuat dengan temuan Dinas Lingkungan Hidup Morut berdasarkan surat Nomor: 660/74/DLHD/IV/2018 tanggal 11 April 2018 yang pada intinya menyebutkan PT COR Industri Indonesia tidak membuat kolam outlet dan perbaikan terhadap drainase di sekitar kawasan pabrik agar tidak terjadi pedangkalan di pinggir laut.

Menurutnya, fakta investigasi Jatam Sulteng tersebut diatas, membuatnya selaku organisasi lingkungan hidup mengajukan surat keberatan kepada ke tiga perusahaan tersebut.

Selain itu juga mengajukan pengaduan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Surat tersebut dilayangkan pada 18 Juli 2018, tetapi apa lacur, surat kami diabaikan oleh pihak pemerintah maupun investasi yang bersangkutan,” ujarnya.

Oleh karena itu, dalam gugatannya, pihak Jatam Sulteng meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Gubernur Sulteng agar mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan atau mencabut izin ketiga perusahaan tersebut sebelum melakukan upaya perbaikan lingkungan hidup di sekitar wilayah kerja mereka.

Kemudian meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Gubernur Sulteng mengeluarkan kebijakan agar memerintahkan ketiga perusahaan tersebut memperbaiki lingkungan di sekitar wilayah aktivitasnya seperti sediakala.

Pihak Jatam juga meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Gubernur Sulteng mengeluarkan kebijakan agar kepolisian dan penegak hukum setempat untuk mengusut secara hukum kelalaian ketiga perusahaan tersebut.

“Kami menolak perilaku investasi yang merugikan rakyat dan lingkungan hidup,” katanya.

Penolakan yang dilakukan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral organisasi atas upaya-upaya dehumanisasi dan perusakan lingkungan hidup akibat dampak dari investasi pertambangan.

Jatam Sulteng beranggapan bahwa perilaku investasi yang tidak ramah terhadap manusia dan lingkungan hidup adalah bagian dari sesuatu tidak bijak, melanggar hak asasi dan mempertontonkan penyimpangan hukum nasional. CAL

Komentar