PALU- Pemerintah telah memberikan sinyal akan menenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar Subsidi. Isu ini ditandai dengan beberapa aksi penolakan yang dilakukan kalangan mahasiswa di sejumlah daerah.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah untuk menahan konsumsi penggunaan BBM yang disubsidi APBN sekira Rp502,4 triliun tahun ini.
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah dampak kenaikan harga minyak mentah dunia yang sempat bertengger lama di atas US$ 100 per barel.
Pakar Ekonomi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Mohamad Ahlis Djirimu mengatakan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak dapat dihindari akibat perang Rusia-Ukraina.
“Perlu disampaikan bahwa transaksi pembelian sifatnya perdagangan berjangka. Artinya, kontrak pembelian minyak dan gas (migas) dibayarkan sekarang bagi pengiriman 1 atau 2 bulan ke depan sesuai harga migas pada West Texas Intermediate atau New York Mercantile Exchange (NYMEX),” kata Ahlis Djirimu, Sabtu (27/8/2022).
Ia menjelaskan, saat menyusun APBN, ada asumsi lifting migas (volume produksi minyak dan gas bumi yang siap untuk dijual). Bila asumsi ini terlampaui, maka tidak ada jalan lain selain menaikkan harga BBM.
“Konsekuensinya subsidi BBM membengkak sampai dengan 502 triliun,” tuturnya.
Lektor Kepala Ekonomi Internasional pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (IESP-FEB) Untad itu memberikan beberapa solusi jika harga BBM sudah dinaikkan, yakni memastikan subsidi wajib tepat sasaran Rumah Tangga Miskin (RTM), tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi.
“Mencari sumber minyak dan gas baru, dan energi alternatif dalam jangka panjang,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, sejak Tahun 2005, Republik Indonesia menjadi net importir sehingga keluar dalam keanggotaan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Sebaiknya, kata dia, pemerintah merekonstruksi Pertamina dan menangani Rent-Seeker Society di dunia Migas.
Hal senada juga dikatakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Untad, Prof. Patta Tope.
“Kenaikan harga BBM dipastikan akan memicu inflasi, namun perlu kita sadari bahwa subsidi BBM sudah sangat membebani APBN,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini adalah pilihan yang sangat sulit. Selain itu, kata dia, subsidi BBM juga kebanyakan hanya menguntungkan kelompok menengah ke atas.
“Karena merekalah yang banyak memakai BBM bersubsidi,” tutup mantan Kepala Bappeda Sulteng itu.
Sementara itu, Kepala Biro Perekonomian Setdaprov Sulteng, Rudi Dewanto mengatakan, pihaknya tidak bisa memberikan tanggapan atas kenaikan BBM.
“Kenaikan BBM merupakan kewenangan pemerintah pusat,” singkatnya. */CAL
Komentar