SultengTerkini.Com, MOROWALI– Lima pendatang baru yang telah berdomisili dan memiiki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Morowali meminta Pemerintah Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali di Sulawesi Tengah untuk mencabut kembali kependudukan mereka, sehingga dikembalikan lagi sebagai penduduk asalnya semula.
Permintaan mencabut kependudukan Morowali tersebut dilakukan oleh lima pencari kerja karena delapan bulan tidak dipanggil bekerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Sekretaris Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi, Salim Abdullah kepada SultengTerkini.Com, belum lama ini menuturkan, awalnya, lima pencari kerja tersebut mengurus surat pindah di tempat asalnya untuk dibuatkan KTP Morowali.
Setelah mereka memiliki KTP Morowali, kelimanya tinggal di kos-kosan yang ada di Desa Fatufia.
“Mereka tinggal di kos-kosan sejak bulan Januari 2017. Mereka menganggur, karena sudah memasukkan berkas lamaran kerjanya, namun belum mendapat panggilan bekerja. Karena mereka capai menunggu, mereka pun akhirnya kembali ke daerah asal mereka. Anehnya, mereka minta dibantu mengurus pencabutan kependudukan mereka di Morowali agar bisa terdata kembali sebagai penduduk di daerah asal mereka,” geram Salim saat ditemui di kediamannya di Desa Fatufia, belum lama ini.
Menurut Salim, lima pekerja yang meminta pencabutan status kependudukan di Kabupaten Morowali umumnya berasal dari Sulawesi Selatan dan Papua.
“Ada satu orang ke Papua, yang lainnya orang selatan (Sulawesi Selatan),” tuturnya.
Menurut Salim, berpindah-pindah kependudukan tersebut membuat kacau administrasi.
“Jelas kacau pak. Tapi bagus juga kalau mereka pindah semua. Kalau sekarang ada 100 orang yang minta pencabutan status kependudukannya dari warga Morowali, pasti saya uruskan,” kata Salim dengan nada kesal.
Menurut dia, tidak seluruh pendatang baru serius untuk menetap di desa tersebut.
“Kalau mereka diterima bekerja, mungkin mereka akan lama tinggal disini. Tapi kalau mereka tidak dipanggil bekerja atau kontrak kerjanya diputus, jelas mereka akan meninggalkan desa ini. Jadi, mereka ini keluar masuk seenaknya saja. Kami yang susah, karena harus mendata mereka dan menyesuaikan program-program kami ke mereka,” keluhnya.
Salim menambahkan, kebanyakan para pencari kerja yang tinggal di desanya berstatus lajang atau belum menikah.
“Sedangkan yang sudah menikah saja dan punya tanah serta rumah di desa ini, kalau dia tidak memiliki pekerjaan, dia jual rumahnya dan tinggalkan desa ini. Apalagi para pendatang yang masih bujangan ini,” kata Salim panjang lebar.
Belum lagi, kata Salim, kebanyakan para pendatang tersebut kurang memiliki etika dan sopan santun ketika hendak tinggal di desa itu.
“Bayangkan pak, ada yang datang minta surat domisili saat waktu Salat Magrib dan jam 11 malam. Banyak juga mereka tidak melapor ke pemerintah desa. Tiba-tiba ternyata mereka sudah menjadi penduduk Morowali dan alamat KTP-nya di desa ini. Inikan tidak beretika namanya,” geram Salim.
Bahkan karena dia sangat selektif dalam pengurusan administrasi kependudukan di desanya, Salim sempat dilapor pendatang baru ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Morowali.
“Saya ditelepon sama orang BKD Morowali pak. Dia pertanyakan saya, kenapa mempersulit para pencari kerja untuk tinggal di desa ini. Kami di desa ini tidak mempersulit mereka pak, sepanjang mereka sesuai prosedurnya. Sebelum mengurus surat pindah dari daerah asal, harusnya mereka pamit dulu, bisa tidak mereka ditampung disini. Itukan bagus. Yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Mereka tidak melapor, tiba-tiba jumlah warga kami jadi banyak,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Morowali Rosnawati kepada SultengTerkini.Com menjelaskan, jika penduduk pindah datang ke Morowali itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan mobilisasi massa.
Karena menurutnya, penduduk yang datang murni motivasinya mencari kerja, sehingga sangat wajar jika seseorang mencari kerja harus ber-KTP di tempatnya kerja.
Ia mengatakan, selagi penduduk pencari kerja membawa surat keputusan Surat Keterangan Pindah Warga Negara Indonesia (SK PWNI) maka tidak ada alasan bagi Dukcapil untuk tidak memprosesnya.
“Untuk yang tidak mempunyai KK (kartu keluarga) tempat nebeng, maka sesuai aturan yang bersangkutan berhak punya KK tunggal, tidak ada rekayasa, karena semua diatur oleh SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan),” kata orang pertama di Dinas Dukcapil Morowali itu. GUS/CAL
Komentar