AJI dan IJTI Desak Revisi Tanggal Hari Pers Nasional

ajiSultengTerkini.Com, JAKARTA– Sebagian masyarakat pers Indonesia memperingati tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, meski sejatinya itu adalah hari kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Demikian disampaikan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan dan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Hendriana Yadi dalam rilisnya yang diterima SultengTerkini.Com, Sabtu (10/2/2018).

Dalam rilis itu keduanya menjelaskan, peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan tanggal itu sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Setelah Seoharto jatuh menyusul gerakan reformasi tahun 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi.

Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah regulasi orde baru dibidang pers, juga dikoreksi, termasuk diantaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru.

Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen Nomor 01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada tahun 1999.

Namun, salah satu tradisi peninggalan orde baru di bidang pers yang masih dipertahankan hingga kini adalah peringatan HPN, meski rujukannya sudah tak ada lagi.

HPN menggunakan rujukan UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Regulasi itu sudah direvisi tahun 1982 dengan keluarnya UU Nomor 21 Tahun 1982. Undang-undang tersebut tak berlaku lagi setelah lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999.

Perkembangan itulah yang memicu lahirnya ide untuk merevisi Hari Pers Nasional. Selain karena memakai hari kelahiran satu organisasi wartawan, pelaksanaannya juga tak banyak berubah dari pelaksanaan semasa orde baru.

Antara lain, pelaksanaannya memakan dana APBN dan APBD cukup besar. Tema dan kegiatan yang dipilih juga seringkali tidak menjawab masalah pers kontemporer.

Dalam HPN yang digelar 9 Februari 2018 di Sumatera Barat, temanya soal wisata, yaitu “Meminang Keindahan di Padang Kesejahteraan”.

Menurut AJI dan IJTI, masih banyak agenda mendesak bidang pers yang lebih perlu dibahas antara lain, kebebasan pers yang masih dalam ancaman, profesionalisme media yang masih dinilai memprihatinkan, dan kesejahteraan pekerja media yang masih jauh dari harapan.

Melihat perkembangan pelaksanaan HPN saat ini, AJI dan IJTI menyatakan meminta Dewan Pers sebagai payung bagi organisasi komunitas pers untuk segera membahas revisi tanggal HPN seperti yang diajukan AJI dan IJTI.

Perubahan tanggal itu diharapkan tidak hanya membuat HPN bisa diperingati oleh lebih banyak komunitas pers, tapi juga untuk mengubah tradisi pelaksanaannya selama ini.

Harapannya, perubahan tanggal itu akan membuat pelaksanaannya lebih memberi manfaat untuk publik dan juga komunitas pers.

Selanjutnya meminta Presiden mencabut Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang menjadi dasar hukum penetapan 9 Februari sebagai HPN.

Selain karena ada sejumlah masalah mendasar dalam pelaksanaannya, dasar hukum dari Keppres itu sudah tidak berlaku lagi.

Menyerukan kepada media dan jurnalis untuk menjaga nama baik profesi jurnalis dan kredibilitas media dengan bersikap profesional dan mematuhi etik.

Salah satu bentuk kepatuhan pada sikap profesional dan mematuhi etika salah satunya adalah dengan tidak bersikap partisan dalam momentum politik Pilkada dan Pilpres.

Bagi yang jurnalis yang terjun ke politik, sepatutnya segera menanggalkan profesinya sebagai wartawan agar tidak menodai profesi yang mulia ini. */CAL

Komentar